Pages

Selasa, 30 April 2013

MAKALAH GANGGUAN ORIENTASI SEKSUAL


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.           Pengertian Orientasi Seksual
Orientasi seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005).
Orientasi seksual adalah ketertarikan emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain. Orientasi seksual mudah dibedakan dari berbagai unsur seksualitas yang lain termasuk kebutuhan biologis, identitas gender (kesadaran psikilogis sebagai lelaki atau perempuan) dan peran-peran sosial berdasarkan gender (kepatuhan pada adat istiadat tentang perilaku lelaki atau perempuan).
Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini tidak selalu berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih luas.
B.            Teori – teori Keragaman Orientasi Seksual
Banyak teori tentang asal-usul orientasi seksual seseorang; sebagian besar ilmuwan saat ini sepakat bahwa orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif dan faktor biologis. Pada sebagian besar orang, orientasi seksual terbentuk pada masa kecil. Akhir-akhir ini terdapat cukup banyak bukti yang mengatakan bahwa faktor biologis, termasuk faktor genetis dan hormonal memainkan peran cukup besar dalam seksualitas seseorang. Dapat disimpulkan: sangat penting untuk menyadari bawa banyak faktor yang menentukan orientasi seksual seseorang, dan faktor-faktor tersebut bisa berbeda untuk masing-masing orang.
Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis :
1.        TEORI BIOLOGIS
Teori ini mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya diidentifikasi sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan prenatal dan postnatal dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor genetik yang menyebabkan homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua orang kembar sama-sama memiliki orientasi seksual homoseksual lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan salah satunya homoseksual sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan bahwa kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic (identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata tidak menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan lagi (Masters, 1992).
Beberapa tipe  penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli untuk membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992).
Pertama,  dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Dorner, Money dan Ehrhardt, dan Htchison, mengungkapkan bahwa pemberian treatmen hormonal pada saat prenatal dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual pada beberapa spesies binatang (Masters, 1992).
Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kekurangan hormon seks pada saat prenatal mungkin dapat diasosiasikan dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah penelitian (Ehrhardt, Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan dengan adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada masa prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian.
Ketiga, perhatian yang sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah hormon pada orang dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa kadar testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada perempuan heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal menunjukkan asumsi ini (Masters, 1992).
Salah satu keterbatasan teori ini dicontohkan pada pemberian treatment hormon seks pada homoseksual dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi seksual mereka.
Penelitian terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil? Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.
2.         TEORI PSIKOLOGIS
Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi biseksual yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki pemikiran bahwa setiap orang memiliki  kecenderungan homoseksual yang bersifat laten, dan Freud percaya, bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya saja continuing castration anxiety pada laki-laki, perilaku homoseksual mungkin akan muncul pada usia dewasa (Masters, 1992).
Bibier meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang keluarga. Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek heteroseksual (Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan triangular system, yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal adalah anak yang kelebihan intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan ayah yang ditolak (Allgeier, 1991). Sementara Wolf menemukan bahwa diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan perempuan heteroseksual, karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah penolakan terhadap ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf mempercayai bahwa homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan kasih sayang yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang mengarahkan anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain (Masters, 1992).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen, Flake-Hobson, dan Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang homoseksual laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3 responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ayah adalah sangat memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau memuaskan. Sekitar 64% responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh ibunya, namun hanya 36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak bisa digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).
Sementara McGuire, Gagnon dan Simon,  Masters dan Johnson, berpegang pada teori psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual (dan juga pikiran dan perasaan yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual. Pandangan behavioral ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang heteroseksual menjadi homoseksual pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang mendapatkan pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat mengarahkan seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi lesbian, mendukung pendapat ini (Masters, 1992).
Penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis. Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).
Tentu saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas ini, teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji homoseksualitas dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui jawaban mengapa seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan jawaban, mengapa seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode ilmiah, karena jika menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa American Psychiatric Assosiation telah menghapuskan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun 1974 dengan tidak mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO pada tahun 1992. Demikian juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog di Indonesia.

C.           Tipe – tipe Orientasi Seksual
Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
·      Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
·      Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
·      Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa ahli tentang macam – macam orientasi seksual :
1.      Heteroseksual
Heteroseksualitas yaitu ketertarikan satu individu terhadap individu lain dengan jenis kelamin berbeda, seperti antara pria dan wanita. Ini adalah orientasi seksual yang banyak terdapat di masyarakat dan dianggap normal dibandingkan dengan orientasi seksual yang lain. Secara biologi, heteroseksualitas menjamin terjadinya pelestarian suatu spesies dengan memunculkan generasi berikutnya.
2.      Homoseksual
Homoseksual dapat didefinisikan sebagai suatu keinginan membina hubungan romantis atau hasrat seksual dengan sesama jenis, jika sesama pria dinamakan gay sedangkan sesama wanita sebut saja lesbian.
Sebenarnya pengertian homoseksual itu meliputi 3 dimensi yaitu orientasi seksualnya yang ke sesama jenis, perilaku seksual dan juga tentang identitas seksualitas diri. Jadi masalah homoseksual bukan semata perkara hubungan seksual dengan sesama jenis semata.
Hal inilah yang seringkali membuat kita merasa najis dengan kaum homoseksual, karena berpikiran bahwa di dalam otak mereka hanya berisikan semata nafsu birahi dengan sesama jenis saja, padahal homoseksualitas itu mencangkup identitas diri sekaligus perilaku mereka juga.
Itu semua bukan dapatan semata dari faktor lingkungan, melainkan faktor genetik-lah yang membuat perkara ini menjadi sangat sulit.
Memang ada jenis homoseksual yang terjadi karena dipicu faktor lingkungan semata, misalnya suasana dalam penjara yang merupakan populasi homogen serta di biara seperti skandal sodomi dalam gereja di USA. Homoseksual semacam ini sesungguhnya jauh lebih muda ditangani karena hal tersebut tercangkup dalam segi perilaku semata, sementara segi identitas diri relatif masih normal (homoseksual situasional).
Dalam ilmu psikiatri, homoseksual yang dianggap sebagai suatu bentuk gangguan jiwa hanyalah homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut.
Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik internal maupun eksternal dirinya. Homoseksual distonik memberikan suatu distress (ketegangan psikis) dan disability (hendaya, gangguan produktivitas sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa.
Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan dendam, aktivitas kuliah terbengkalai dan sebagainya. Homoseksual jenis inilah yang dicap sakit mentalnya dan memang harus diterapi. Di negara dengan budaya dan agama yang kuat seperti di negara kita, celakanya homoseksual jenis inilah yang mendominasi.
Sebab terjadinya homoseksual
Mengacu pada teori penyebab homoseksual, dr. Wimpie Pangkahila menyebutkan ada empat kemungkinan penyebab homoseksual.
1)   Faktor biologis, yakni ada kelainan di otak atau genetik.
2)   Faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak.
3)   Faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan tertentu yang tidak benar.
4)   Faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat.
Sementara, menurut Budi, aktivis Gaya Nusantara dalam sebuah tulisan di GN Online, ada dua hal yang menyebabkan orang menjadi gay yaitu :
1)      Faktor bawaan atau gen, yaitu adanya ketidakseimbangan jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Jumlah hormon wanita cenderung lebih besar daripada laki-laki. Hal ini dapat berpengaruh pada sifat dan perilaku si laki-laki tersebut. Jati diri kewanitaan biasanya lebih kuat, sehingga mereka cenderung berperilaku feminin dan selalu tertarik terhadap aktivitas yang dilakukan wanita.
Laki-laki yang menjadi gay karena faktor tersebut biasanya tidak bisa kembali menjadi laki-laki dalam arti sebenarnya. Tapi, sifat gay tersebut bisa berkurang frekuensinya. Tentunya, diperlukan usaha yang keras. Misalnya, tidak bergaul lagi dengan kaum gay, punya keyakinan yang kuat, dan harus tahan segala godaan.
2)      Faktor lingkungan, yaitu komunitasnya lebih sering bertemu dengan laki-laki dan amat jarang bertemu dengan wanita. Selain itu, ada juga dari mereka yang terlibat dalam kehidupan gay semata-mata karena gaya hidup dan materi. Biasanya mereka berawal dari coba-coba untuk berhubungan dengan sesama jenis dengan imbalan uang. Jenis gay ini bisa hilang bila mereka telah menemukan pasangan hidup wanita. Atau, mereka keluar akibat terkena penyakit kelamin. Dan juga, gay tersebut dapat kembali sebagai lelaki sepenuhnya bila punya komitmen kuat untuk menjauhi kehidupan gay.
Kaum homoseksual di tanah air sulit untuk menerima kenyataan dirinya sebagai kaum abnormal seperti demikian, maka mereka sering menyembunyikan orientasi yang dicap salah dalam masyarakat tersebut. Represi semacam demikian akan berakibat gejolak negatif dalam dirinya sehingga tampil ke permukaan sebagai stress,depresi dan gangguan dalam relasi sosial. Mereka sering gagal dalam menemukan identitas dirinya ditengah ancaman cambuk agama dan budaya yang sedemikian kuat.
Kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak mengalami distress amupun disability dalam kehidupan mereka. Bahkan mereka yang sukses dengan coming out seperti demikian seringkali lebih produktif dan sukses dalam profesi mereka seperti misalnya perancang baju, penata rias dan rambut,dll.
Menjadi seorang dengan orientasi seksual ke sesama jenis sesungguhnya bukan semata pilihan pribadi homoseksual, melainkan itu merupakan kesalahan genetik. Kecenderungan itu sesungguhnya sudah ada sejak lahir namun baru naik ke permukaan setelah seorang individu masuk ke dalam fase sosial dalam tahap perkembangannya.
Bahkan seorang Sigmund Freud berani mengatakan bahwa pada setiap diri kita sebenarnya ada bakat untuk homoseksual, dan proses interaksi sosial dalam perkembangan selanjutnyalah yang menyebabkan bakat itu dapat muncul atau tertahankan.
Permasalahan jiwa pada pribadi homoseksual sebenarnya jauh lebih banyak terkait faktor eksternal dirinya atau berupa tekanan dari masyarakat. Mereka yang tidak berani coming out ke masyarakat akan dihantui konflik identitas diri seumur hidupnya sedangakn mereka yang memberanikan coming out tetap menghadapi resiko dicibir atau malah dikucilkan masyarakat.Jadi sebenarnya homoseksual itu lebih berupa ‘penyakit masyarakat’ ketimbang penyakit jiwa karena memang yang menimbulkan penyakit itu adalah perlakuan dari masyarakat sendiri.
Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat.
Sebagai catatan dari suatu survey dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Bagaimanapun kita sebagai pribadi yang terpelajar hendaknya mau mengerti latar belakang kaum homoseksual, tidak semata merasa jijik atau malah menolak mereka. Tentunya Anda tidak bisa mengucilkan teman Anda yang berambut ikal karena memang gen nya membawa sifat ikal seperti itu bukan?
Begitu pula homoseksual, bukan kemauan mereka untuk menjadi homoseksual, namun bedanya gen orientasi seksual semacam itu mencangkup pula segi perilaku sosial bukan semata penampilan fisik seperti halnya rambut ikal. Dukungan sosial justru sangat dibutuhkan oleh kaum homoseksual, dengan demikian mereka dapat menemukan dan mengaktualisasikan identitas dirinya serta terbebas dari distress, dengan demikian mereka dapat tetap produktif dalam masyarakat.
Homoseksual harus dibedakan dengan gangguan transeksual (banci). Transeksual masih termasuk dalam gangguan jiwa jenis preferensi seksual. Bedanya yang mudah diantara keduanya adalah bahwa kaum homoseksual tidak pernah ingin mengganti jenis kelaminnya (misal dengan operasi plastik), tidak pernah berhasrat mengenakan pakaian lawan jenis (melainkan kebanyakan gay berpenampilan macho dan necis).
Selain itu kaum transeksual terutama memiliki dorongan untuk menolak jenis kelaminnya, dan mengingini jenis kelamin lawan jenisnya. Jadi pengertian transeksual lebih ke arah penolakan akan identitas dirinya sebagai seorang pria atau wanita, bukan menekankan kepada orientasi seksual (keinginan dengan siapa berhubungan seksual / membina relasi romantis).
3.      Biseksual
Biseksualitas adalah orientasi seks  yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Biseksualitas umumnya dikontraskan dengan homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas.
Tim psikologi dari Northwetern University, AS yang dipimpin oleh Michael Bailey melakukan penelitian terhadap laki-laki dan perempuan dengan mempertontonkan kepada mereka blue film yang berisi adegan-adegan seks antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, serta laki-laki dengan perempuan.
Ternyata, respon mereka berbeda-beda dalam menanggapi tontonan adegan sesks dalam blue film tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempupan selalu bergairah menonton adegan sesk antara laki-laki dengan laki-laki (homoseks), perempuan dengan perempuan (lesbian), serta laki-laki dengan perempuan (normal). Sebaliknya, laki-laki lebih bergairah menonton adegan seks antara perempuan dengan perempuan (lesbian) dan antara laki-laki dengan perempuan (normal).
Kesimpulan penelitian Bailey dkk. tersebut adalah perempuan cenderung memiliki orientasi biseksual dibanding laki-laki. Pengertian cenderung memiliki orientasi biseksual di sini lebih menunjuk kepada timbulnya gairah seksual peremuan pada saat menonton adegan seks dalam blue film, sedangkan dalam kehidupan seks mereka sehari-hari bisa jadi perilaku seksual mreka normal. Namun, banyak juga yang melampiaskan gairahnya dengan melakukan hubungan seksual dengan kedua jenis kelamin.
Factor penyebab seseorang menjadi biseksual
Pada fase falik, secara seksual, anak akan menyadari bahwa organ seksual  merupakan sumber menikmatan yang dapat ia hayati. Oedipus complex pada anak laki – laki dan Electra complex pada anak perempuan merupakan drama relasi segitiga antara ayah dan ibu, yang menentukan identitas seksual anak di kemudian hari. Dalam hal ini, anak harus menerima kenyataan akan ketidakmampuan untuk memiliki ayah atau ibu, baik secara emosional maupun seksual. Apabila pada saat tersebut lingkungan keluarga tidak bersikap hangat, maka anak akan berpeluang untuk mengambil alih ciri hakikat identitas gender (gender identity) dari ayah ataupun ibu, yaitu anak laki – laki akan mengambil alih ciri hakikat kewanitaan dari ibu, sedangkan anak perempuan akan mengambil alih ciri hakikat kelaki – lakian dari ayah. Anak laki – laki akan mengembangkan kepribadian homoseksual, sedangkan anak perempuan akan mengembangkan kepribadian lesbian (Sadarjoen, 2005).
Sementara Kinsey (dalam Nugraha, 2002) mengemukakan ada tiga hal yang dapat mendorong seseorang menjadi biseksual, yaitu :
1)             Pengalaman seksual yang didapatkan dari suatu hubungan persahabatan antara laki – laki dan perempuan yang sangat dekat. Misalnya pada persahabatan antara dua laki – laki yang salah satunya mempunyai kecenderungan perilaku homoseksual, meskipun nantinya ada kemungkinan kedua laki – laki tersebut mencari pasangan seorang perempuan.
2)             Kelompok – kelompok yang membentuk pergaulan biseksual. Kelompok tersebut berusaha memperkenalkan filosofi tentang biseksual.
3)             Lingkungan, Lingkungan yang dimaksud biasanya lebih bersifat memaksa, seperti di sebuah penjara, para narapidana yang seluruhnya laki – laki normal, tetapi karena tinggal dalam jangka waktu yang lama dalam penjara dimana hanya terdapat laki – laki saja, maka penyalurannya hanya kepada sesama laki – laki. Hal seperti ini juga dapat terjadi pada tentara (prajurit) yang berperang di hutan – hutan, dimana sulit bertemu dengan perempuan.
Faktor Pendukung
Kecenderungan berorientasi biseksual akan mewujud menjadi tindakan atau perilaku biseksual didorong oleh beberapa keadaan yaitu :
a.                  Coba – coba
Perilaku coba-coba untuk memperoleh pengalaman seksual baru sering dilakukan antarsahabat. Laki-laki yang telah beristri mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat laki-lakinya. Demikian juga perempuan yang telah bersuami, mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari hasil coba-coba antara laki-laki homoseksual dengan sahabt perempuannya atau antara perempuan lesbian dengan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena orienasi seksual itu memang kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat hanya para perilaku yagn tampak di permukaan (overt behaviour).
b.                  Seks bebas (free sex)
Para penganut seks bebas seringkali mengadakan pesta seks yang dihadiri banyak orang dengan berbagai ragam orientasi seksual. Dalam keadaan semacam ini sangat terbuka kemungkinan coba-coba untuk melakukan hubungan biseksual. Bila dalam melakukan hubungan itu mengalami kenikmatan sperti diharapkan, perilaku tersebut cenderung diulang-ulan, sehingga ia dapat berkembagn menjadi orang yang memiliki perilaku biseksual.
c.                  Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Hasil penelitian tentang seksualitas ganda menunjukkan bahwa para wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki; sementara beberapa kebutuhan eosional lainnya menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan. Untuk memenuhi seluruh ke butuhan emosional tersebut mereka memiliki peran seksualitas ganda.
d.                 Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Hasil penelitan terhadap pria biseksual menunjukkan bahwa kebanyakan mereka menjadi biseksual karena ingin memenuhi kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk mendapatkan kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.
Perilaku biseksual termasuk penyimpangan kegiatan seksual yang tidak sesuai dengan norma agama maupun masyarakat. Oleh karena itu,  kaum biseksual menghadapi masalah yang sama dengan para gay dan lesbian. Mereka pada umumnya lebih tertekan daripada kaum gay atau lesbian karena identitas seksual mereka dianggap tidak jelas. Sana-sini mau atau AC/CD adalah cemoohan buat kaum biseksual.
Karena besarnya tekanan tersebut, kaum biseksual pada umumnya lebih mudah mengalami gangguan mental dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual (normal) maupun homoseksual/ lesbian. Sebuah penelitian di Australia yang dimuat dalam British Journal of Psychiatry menemukan bahwa orang-orang biseksual mempunyai perasaan yang sangat dalam terhadap kegelisahan, depresi, dan berbagai pikiran negatif lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar