BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terminologi sinkop
berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari kata “syn” dan “koptein” yang
berarti memutuskan. Secara medis, definisi dari sinkop adalah kehilangan
kesadaran dan kekuatan postural tubuh serta kemampuan untuk berdiri karena
pengurangan aliran darah ke otak. Prognosis dari sinkop sangat bervariasi
bergantung dari diagnosis dan etiologinya. Individu yang mengalami sinkop
termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya memiliki tingkat mortalitas
yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak pernah sinkop.
Di Amerika diperkirakan 3% dari
kunjungan pasien di gawat darurat disebabkan oleh sinkop dan
merupakan 6% alasan seseorang datang kerumah sakit. Angka rekurensi dalam 3
tahun diperkirakan 34%. Sinkop
sering terjadi pada
orang dewasa, insiden
sinkop meningkat dengan meningkatnya
umur. Hamilton mendapatkan sinkop
sering pada umur 15-19 tahun, lebih sering pada wanita dari pada laki-laki,
sedangkan pada penelitian Framingham mendapatkan kejadian sinkop 3% pada
laki-laki dan 3,5% pada wanita, tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan
wanita.
Penelitian Framingham di Amerika Serikat tentang kejadian sinkop dari tahun
1971 sampai 1998 (selama 17 tahun) pada 7814 individu, bahwa
insiden sinkop pertama
kali terjadi 6,2/1000 orang/tahun.
Sinkop yang paling sering terjadi adalah sinkop vasovagal (21,1%), sinkop
kardiak (9,5%) dan 36,6% sinkop yang tidak diketahui penyebabnya.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan evaluasi dan pengobatan
pasien dengan sinkop tersebut dapat mencapai 800 juta dolar Amerika, Sedangkan
di Eropa dan Jepang kejadian sinkop adalah 1-3,5%.
Penyebab sinkop dapat dikelompokkan dalam 6 kelompok yaitu vaskular,
kardiak, neurologik-serebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop
yang tidak diketahui penyebabnya.
Sinkop vaskular merupakan penyebab sinkop
yang terbanyak, kemudian diikuti
oleh sinkop kardiak.
Penatalaksanaan sinkop tergantung etiologinya, perawatan secara umum tidak
diperlukan, kecuali sinkop
yang disebabkan karena kelainan jantung atau sinkop kardiak.
Pasien dengan kardiomiopati hipertropi dapat berespon dengan terapi farmakologi,
sedangkan pasien dengan blok atrioventrikuler harus dilakukan pemasangan
pacu jantung, dan terapi
bedah diperlukan bila
penyebab sinkop adalah kelainan struktur jantung.
Pasien yang mengalami
sinkop akan mengalami
penurunan kualitas hidup. Prognosis dari sinkop sangat bervariasi
tergantung dari diagnosis etiologinya. Individu yang mengalami sinkop termasuk
sinkop yang tidak diketahui penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan yang tidak pernah mengalami episode sinkop. Mortalitas
tertinggi disebabkan oleh sinkop kardiak, sedangkan sinkop yang berhubungan
dengan persyarafan termasuk hipotensi ortostatik dan sinkop yang berhubungan
dengan obat-obatan tidak menunjukan peningkatan angka kematian.
Karena tingginya angka kematian yang disebabkan oleh sinkop kardiak, maka
perlu penatalaksanaan yang
optimal sehingga angka kematian dapat
diturunkan, untuk itulah
tinjauan kepustakaan ini ditulis agar dapat mendiagnosis sinkop
kardiak dan penatalaksanaan dapat optimal sehingga angka kematian dapat
diturunkan.
1.2 Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan sinkop ?
2)
Apa etiologi dari sinkop ?
3)
Apa saja manifestasi klinis dari sinkop ?
4)
Apa saja pemeriksaan diagnostik pada sinkop ?
5)
Bagaimanakah alogaritma dan
penatalaksanaan pada sinkop ?
1.3 Tujuan
1)
Untuk mengetahui definisi dari sinkop
2)
Untuk mengetahui etiologi dari sinkop
3)
Untuk mengetahui faktor resiko pada klien
dengan sinkop
4)
Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaan
diagnostik pada sinkop
5)
Untuk mengetahui penatalaksanaan pada sinkop
1.4 Manfaat
1)
Mendapatkan pengetahuan tentang sinkop
2)
Mendapatkan pengetahuan tentang
penatalaksanaan pada sinkop
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “syn” dan
“koptein” yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of Cardiology : ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral.
“koptein” yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of Cardiology : ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral.
Kebanyakan individu yang pernah mengalami sinkop terutama sinkop vasovagal,
tidak mencari pertolongan dokter sehingga prevalensi dari sinkop tersebut sulit
ditentukan. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa pernah mengalami paling
sedikit sekali episode sinkop selama hidupnya.
Sinkop kardiak
merupakan penyebab kedua tersering dari sinkop meliputi 10-20 % atau seperlima
dari seluruh kejadian. Sinkop kardiak ini akan menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan kasus yang tidak mempunyai dasar kelainan jantung. Pasien dengan
sinkop kardiak ini mempunyai resiko kematian tertinggi dalam 1 sampai 6 bulan.
Tingkat mortalitas pada tahun pertama 18-33 %, dibandingkan dengan sinkop yang
bukan disebabkan kelainan kardiak yaitu 0-12%, bahkan pada sinkop tanpa sebab
yang jelas hanya kira-kira 6%.
2.2 Etiologi
Penyebab sinkop dapat
dikelompokan dalam 6 kelompok yaitu vaskular,
kardiak,
neurologik-serebrovaskular,
psikogenik, metabolik dan sinkop
yang tidak diketahui
penyebabnya. Sinkop vaskular merupakan penyebab
sinkop yang terbanyak, kemudian diikuti
oleh sinkop kardiak, seperti terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1. Penyebab
sinkop
Neurally Mediated ( Vasovagal )
|
||
Situational
|
Mechanical
|
electrical
|
Micturition
|
Aortic stenosis
|
2/3 degree atroventricular block
|
Defecation
|
Hipertropic
cardiomyopathy
|
Sick sinus syndrome
|
Postprandial
|
Atrial myxoma
|
Supraventricular tachycardia
|
Swallowing
|
Mitral stenosis
|
Torsade de pointes
|
Coughing
|
Pulmonic stenosis
|
Pacemaker malfunction
|
Ortostatic syncope
|
Pulmonary hypertension
|
|
Carotid sinus syncope
|
Emboly
|
|
Cardioinhibitory
|
Infark moakard
|
|
Vasodepressor
|
Cardiac tamponade
|
|
Mixed
|
|
|
Sinkop kardiak merupakan penyebab kedua tersering dari sinkop meliputi
10-20 % atau seperlima dari seluruh kejadian. Sinkop kardiak ini akan
menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak
mempunyai dasar kelainan jantung. Pasien dengan sinkop kardiak ini mempunyai
resiko kematian tertinggi dalam 1 sampai 6 bulan. Tingkat mortalitas pada tahun
pertama 18-33 %, dibandingkan dengan sinkop yang bukan disebabkan kelainan
kardiak yaitu 0-12%,
bahkan pada sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6%. Demikian pula dengan angka kematian mendadak lebih tinggi pada populasi yang mempunyai dasar kelainan kardiak.
bahkan pada sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6%. Demikian pula dengan angka kematian mendadak lebih tinggi pada populasi yang mempunyai dasar kelainan kardiak.
Tabel 2.2 Penyebab sinkop
kardiak
Struktur
|
Bradikardia
|
Takikardia
|
Stenosis aorta
|
Sick sinus syndrome
|
Ventrikel takikardia
|
Hipertropi kardiomiopati
|
AV block
|
Fibrilasi ventrikel
|
Emboli paru
|
Drug induce
|
Torsade de pointes
|
Hipertensi pulmonal
|
|
Supra ventrikuler takikardia
|
Infaek mikard
|
|
Atrium vibrilasi / fluter
|
Tamponade
|
|
|
1)
Jantung dan sirkulasi
a. Sinkop Vasodepressor.
Sinkop vasodepressor terjadi jika individu yang rentan berhadapan dengan
situasi yang membuat stress. Gejala prodromal: kegelisahan, pucat, kelemahan,
mendesah, menguap, diaphoresis, dan nausea. Gejala-gejala ini mungkin diikuti
dengan kepala terasa ringan, penglihatan kabur, kolaps, dan LOC (loss of
consciousness). Kadang-kadang tejadi kejang klonik ringan, tetapi tidak
diindikasikan penanganan kejang, kecuali terdapat tanda-tanda lain yang
menunjuk ke arah ini. Serangan berlangsung singkat dan cepat pulih jika
berbaring. Episode ini dapat berulang.
Sinkop Vasodepressor dapat terjadi pada:
a)
Seseorang dengan kondisi
normal yang dipengaruhi oleh emosi yang tinggi
b)
Pada seseorang yang merasakan
nyeri hebat setelah luka, khususnya pada daerah abdomen dan genitalia.
c)
Selama latihan fisik yang
keras pada orang-orang yang sensitive.
b. Penyebab Hipotensi Orthostatik
Definisi Hipotensi Orthostatik
adalah apabila terjadi
penurunan
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada
posisi berdiri selama 3 menit. Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah darah 500-800 ml darah akan berpindah ke abdomen dan eksremitas bawah sehingga terjadi penurunan besar volume darah balik vena
secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan ini mencetuskan peningkatan refleks
simpatis. Kondisi ini dapat asimptomatik tetapi dapat pula menimbulkan
gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah,
berbedebar-debar, hingga sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan
terutama pada usia lanjut disebabkan oleh retribusi darah ke usus.
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada
posisi berdiri selama 3 menit. Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah darah 500-800 ml darah akan berpindah ke abdomen dan eksremitas bawah sehingga terjadi penurunan besar volume darah balik vena
secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan ini mencetuskan peningkatan refleks
simpatis. Kondisi ini dapat asimptomatik tetapi dapat pula menimbulkan
gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah,
berbedebar-debar, hingga sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan
terutama pada usia lanjut disebabkan oleh retribusi darah ke usus.
Hipotensi ortostatik merupakan penurunan tekanan darah seseorang sedang
dalam posisi tegak. Keadaan ini terjadi berbagai keadaaan:
a)
Hipovolemia (perdarahan,
muntah, diare,diuretik).
b)
Gangguan pada reflex normal (nitrat, vasodilator, penghambat kanal
kalium, neuroleptik)
c)
Kegagalan autonom.
Primer atau sekunder.
Diabetes paling sering menyebabkan neuropati
otonom sekunder, sedangkan
usia lanjut merupakan penyebab lazim kegagalan otonom
primer. Paling tidak telah dicerminkan oleh tiga sindroma :
ü
Disautonomia akut atau subakut
Pada penyakit ini, seorang dewasa atau anak yang tampak sehat
mengalami paralisis parsial atau total pada system saraf parasimpatis dan
simpatis selama beberapa hari atau beberapa minggu. Refleks pupil
menghilang sebagaimana halnya dengan fungsi lakrimasi, saliva serta
perspirasi, dan terdapat impotensi, paresis otot-otot kandung kemih dan
usus serta hipotensi ortostatik. Penyakit tersebut dianggap merupakan suatu varian dari polyneuritis idiopatik akut yang ada hubungannya dengan sindroma Guillain-Barre.
mengalami paralisis parsial atau total pada system saraf parasimpatis dan
simpatis selama beberapa hari atau beberapa minggu. Refleks pupil
menghilang sebagaimana halnya dengan fungsi lakrimasi, saliva serta
perspirasi, dan terdapat impotensi, paresis otot-otot kandung kemih dan
usus serta hipotensi ortostatik. Penyakit tersebut dianggap merupakan suatu varian dari polyneuritis idiopatik akut yang ada hubungannya dengan sindroma Guillain-Barre.
ü
Insufisiensi autonom
pascanglionik kronis
Keadaan ini merupakan
penyakit yang menyerang
usia pertengahan dan usia lanjut. Penderita berangsur-angsur mengalami
hipotensi ortostatik kronik yang kadang-kadang bersamaan dengan gejala
impotensi dan gangguan sfingter. Gejala pucat atau mual. Lakilaki lebih sering
terkena, tampaknya ireversibel.
ü
Insufisiensi autonom
praganglionik kronis
Pada keadaan ini, gejala hipotensi ortostatik dengan anhidrosis
yang bervariasi, impotensi dan gangguan sfingter terjadi bersama
dengan kelainan yang mengenal system saraf pusat. Kelainan tersebut mencakup : (1) tremor, rigiditas ekstrapiramidal serta akinesia (sindroma Shy-Drager), (2) degenerasi serebelum progressive yang pada sebagian kasus bersifat familial dan (3) kelainan sereberal serta ekstrapiramidal yang lebih bervariasi (degenerasi striatonigra).
yang bervariasi, impotensi dan gangguan sfingter terjadi bersama
dengan kelainan yang mengenal system saraf pusat. Kelainan tersebut mencakup : (1) tremor, rigiditas ekstrapiramidal serta akinesia (sindroma Shy-Drager), (2) degenerasi serebelum progressive yang pada sebagian kasus bersifat familial dan (3) kelainan sereberal serta ekstrapiramidal yang lebih bervariasi (degenerasi striatonigra).
c. Obstruksi aliran keluar.
Stenosis aorta, stenosis mitral, stenosis pulmonal. Pasien dapat dating
dengan sinkop akibat latihan fisik. Malfungsi katup secara mekanik juga dapat
menyebabkan obstruksi aliran keluar.
d. Infark atau iskemia miokardium
e.
Sinkop kardiak karena kelainan
struktur
Kelainan struktur jantung
yang dapat menyebabkan
sinkop termasuk stenosis valvular (aorta, mitral, pulmonal), disfungsi
katup protesa atau trombosis,
kardiomiopati hipertropik, emboli
paru, hipertensi pulmonal, tamponade
jantung dan anomali
dari arteri koroner.
a)
Stenosis aorta
Sinkop pada stenosis aorta terjadi saat aktivitas, ketika terjadi obstuksi
katup menetap dan menghambat peningkatan curah jantung sehingga timbul dilatasi
vaskular pada otot-otot skeletal yang bergerak. Sinkop dapat terjadi saat
aktivitas atau latihan bahkan sesaat setelah latihan. Sinkop juga dapat terjadi
pada saat istirahat pada stenosis aorta bila
ditemukan keadaan takikardia
paroksismal bradiaritmia yang timbul bersamaan dengan abnormalitas
katup ini. Diseksi aorta, subclavian
steal syndrome, disfungsi berat ventrikel kiri dan infark miokard merupakan penyebab
penting lain dari sinkop kardiak. Pada usia lanjut sinkop dapat merupakan
tampilan dari infark miokard akut.
b)
Miksoma atrium kiri
Miksoma atrium kiri
atau trombus pada
katup protesa yang menutupi
katup mitral selama
fase diastolik akan
menyebabkan obstruksi pada pengisian ventrikel kiri sehingga menurunkan
kardiak output sehingga dapat terjadi sinkop.
c)
Kardiomiopati hipertropi
Pada kardiomiopati hipertropi
akibat hipertropi kardiak
yang terjadi dapat menyebabkan
kematian mendadak karena
takikardia ventrikel menetap. Penjelasan lain dari sinkop yang dapat
terjadi adalah tipe obstruksi dimana terdapt gradien intraventrikuler.
Pada pengguna pacu jantung dan
ICD (Implantable Cardiac
Defibrilator) yang mengalami gangguan
fungsi dapat menyebabkan terjadinya sinkop.
Individu pengguna ICD
misalnya, apabila terjadi takikardia ventrikel yang cepat dan
dapat diatasi dengan alat tersebut, sinkop masih mungkin dapat terjadi, hal ini
tergantung dari lamanya keadaan
hipotensi akibat proses
terminasi dari takikardia
tersebut. Sehingga penting sekali
mendapat keterangan mengenai
ICD yang dipergunakan terutama
apabila terdapat episode sinkop tersebut.
f. Aritmia
a)
Bradiaritmia
ü
AV Blok
Blok AV sering menyebabkan bradikardia, meskipun lebih jarang
dibandingkan dengan kelainan
fungsi nodus SA.
Penyebab tersering Blok AV
adalah obat-obatan, proses
degeneratif, penyakit jantung koroner, dan efek samping tindakan
operasi jantung. Gejala yang timbul sama seperti gejala akibat bradikardia
lainnya yaitu pusing, lemas dan sinkop dan dapat menyebabkan kematian mendadak.
ü
Sick sinus syndrome
Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan penyebab bradikardia tersering.
Sick Sinus Syndrome
adalah gangguan fungsi nodus
SA yang disertai
gejala. Gambaran EKG
dapat berupa sinus bradikardia persisten tanpa pengaruh
obat, sinus arrest, atrium fibrilasi respon lambat atau suatu bradikardia yang
bergantian.
b)
Takiaritmia
Ada dua kelainan jantung yang sering menjadi penyebab pingsan. Pertama
adanya hambatan pada aliran darah di pompa jantung. Seperti pada pompa air yang katupnya rusak, fungsi
pompa jantung pun bisa terganggu dan volume darah yang dihasilkan menurun.
Penurunan jumlah darah
yang dikeluarkan oleh
jantung ini akan
menyebabkan penurunan perfusi otak dan memicu pingsan. Hal ini terjadi
pada kondisi penyempitan katup- katup jantung, kelainan otot jantung,
penumpukan cairan di selaput jantung, tumor dalam jantung, dan lain-
lain. Kedua adalah gangguan irama jantung (aritmia). Apabila irama jantung tiba-tiba melambat terjadi penurunan aliran darah di otak. Begitu pula jika jantung memompa terlalu cepat. Pengisian ruang-ruang jantung menjadi tidak maksimal, dan kekuatan pompa menurun drastis.
menyebabkan penurunan perfusi otak dan memicu pingsan. Hal ini terjadi
pada kondisi penyempitan katup- katup jantung, kelainan otot jantung,
penumpukan cairan di selaput jantung, tumor dalam jantung, dan lain-
lain. Kedua adalah gangguan irama jantung (aritmia). Apabila irama jantung tiba-tiba melambat terjadi penurunan aliran darah di otak. Begitu pula jika jantung memompa terlalu cepat. Pengisian ruang-ruang jantung menjadi tidak maksimal, dan kekuatan pompa menurun drastis.
ü
Takikardia ventrikel
Satu bentuk dari takikardia ventikel adalah Torsade de pointes yang terjadi pada pasien dengan repolarisasi
ventrikel yang memanjang (Long QT syndrome/LQT), tetapi
mempunyai jantung yang
secara stuktural normal. Long QT Sindrom (LQTS) merupakan kelainan yang
ditandai dengan interval
QT memanjang pada
EKG (450 ms) yang cenderung mengakibatkan
takiaritmia, sehingga dapat
mencetuskan sinkop.
LQTS dapat terjadi akibat penyakit dasar yang didapat ataupun
kongenital misalnya pada
keadaan hipokalemia atau
terpapar obat-obatan tertentu.
Torsade de
pointes dalam perkembangannya dapat menjadi fibrilasi ventrikel, maka
seseorang dengan LQTS mempunyai resiko
mengalami sinkop bahkan
yang lebih fatal
adalah kematian mendadak.
Kelainan kongenital lain
yang berpotensi mengakibatkan gangguan aritmia yang fatal
adalah Sindrom Brugada (elevasi segmen ST didaerah prekordial V1, V2, V3 yang
sering disertai blok berkas cabang kanan inkomplit maupun komplit, takikardia
ventrikel polimorfik akibat katekolaminergik
familiar serta displasia
ventrikel kanan yang berhubungan dengan aritmia ventrikel.
Gambar 2.1. Gambar EKG pada Brugada Sindrom.
ü
Wolf-parkonson-white
Wolf-Parkinson-White merupakan sindrom
praeksitasi dengan gambaran EKG
adanya gelombang P
yang normal, interval PR
yang memendek, kurang dari 0,11
detik, komplek QRS
melebar karena adanya gelombang
delta. Perubahan komplek QRS disertai perubahan gelombang T yang sekunder. Gambaran EKG ini
disebabkan karena adanya jalur
asesori yang menghubungkan
atrium dengan ventrikel sehingga sebagian ventrikel akan
diaktivasi sangat dini. WPW sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada
pasien tanpa kelainan jantung. WPW umumnya
jinak tapi dapat
menimbulkan takiaritmia seperti
paroksismal fluter atau fibrilasi.
Gambar 2.2 Gambaran EKG pada Wolf-Parkinson-White
g. Hipersensitivitas sinus karotis.
Sinkop dapat terjadi saat bercukur atau memakai kerah yang ketat.
Hal ini umum terjadi pada pria dengan usia lebih dari 50 tahun. Aktivasi dari
baroreseptor sinus karotis meningkatan impuls yang dibawa ke badan Hering
menuju medulla oblongata. Impuls afferen ini mengaktivkan saraf simpatik
efferen ke jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan sinus arrest
atau Atrioventricular block, vasodilatasi. Pemijatan salah satu atau kedua
sinus karotikus, khususnya pada orang usia lanjut, menyebabkan (1) perlambatan jantung yang bersifat refleks (sinus bradikardia, sinus arrest,
atau bahkan blok atrioventrikel), yang disebut respons tipe vagal, dan (2)
penurunan tekanan arterial tanpa perlambatan jantung yang disebut respons
tipe depressor. Kedua tipe respons sinus karotikus tersebut dapat terjadi
bersama-sama.
Hal ini umum terjadi pada pria dengan usia lebih dari 50 tahun. Aktivasi dari
baroreseptor sinus karotis meningkatan impuls yang dibawa ke badan Hering
menuju medulla oblongata. Impuls afferen ini mengaktivkan saraf simpatik
efferen ke jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan sinus arrest
atau Atrioventricular block, vasodilatasi. Pemijatan salah satu atau kedua
sinus karotikus, khususnya pada orang usia lanjut, menyebabkan (1) perlambatan jantung yang bersifat refleks (sinus bradikardia, sinus arrest,
atau bahkan blok atrioventrikel), yang disebut respons tipe vagal, dan (2)
penurunan tekanan arterial tanpa perlambatan jantung yang disebut respons
tipe depressor. Kedua tipe respons sinus karotikus tersebut dapat terjadi
bersama-sama.
2)
Etiologi Metabolik
Episode biasanya diperkuat jika mengerahkan tenaga tetapi dapat terjadi jika
pasien berbaring. Awitan dan pemulihan biasanya lama. Penyebab Sinkop Metabolik
Penyebab metabolik pada sinkop sangat jarang, hanya berkisar 5% dari seluruh
episode sinkop.
a. Hipoksia, seperti pirau pada penyakit jantung congenital
b. Hiperventilasi
Menyebabkan vasokontriksi serebrum dengan gejala kesulitan bernafas,
ansietas, parestesia tangan atau kaki, spasme karpopedal, dan kadang-kadang
nyeri dada unilateral
atau bilateral. Pasien
dapat mengalami serangan ulangan jika melakukan hiperventilasi dalam
lingkungan yang terkendali.
c. Hipoglikemia
Jika gejala terjadi secara bertahap selama periode beberapa menit,
hiperventilasi atau hipoglikemia sebaiknya dipertimbangkan. Keadaan
hipoglikemia yang berat biasanya terjadi akibat seuatu penyakit yang serius,
seperti tumor pada sel pulau langerhan ataupun penyakit adrenal, hipofise atau
hepar yang lanjut, atau akibat pemberian insulin dalam jumlah yang berlebihan.
Gambaran klinisnya berupa gejala kebingunan atau bahkan penurunan kesadaran.
Kalau keadaaannya ringan, sebagaimana lazim terjadi pada hipoglikemia.
Diagnosis keadaan ini bergantung pada hasil anamnesis riwayat medis dan
pengukuran gula darah pada waktu serangan.
d. Intoksikasi alcohol
3)
Etiologi neurologic
Serangan iskemik sementara (TIA;Transient
Ischemic Attact) dapat menyebabkan
sinkop tetapi jarang terjadi. Agar terjadi hal ini system aktivasi reticular harus
terkena. Jika terjadi “selalu” terdapat manifestasi neurologic lainnya, seperti kelainan saraf cranial.
sinkop tetapi jarang terjadi. Agar terjadi hal ini system aktivasi reticular harus
terkena. Jika terjadi “selalu” terdapat manifestasi neurologic lainnya, seperti kelainan saraf cranial.
a. Migrain. Penyebab tersering kedua pada remaja.
b. Kejang. Biasanya mudah dibedakan dengan aura, riwayat gerakan tonik klonik dan
keadaan pascaiktal
c. Peningkatan tekanan intracranial
mendadak yang diperlihatkan
dengan perdarahan subarachnoid
atau kista koloid obstruktif pada ventrikel ketiga.
Terminologi ini merupakan bentuk dari seluruh sinkop yang berasal dari sinyal
saraf SSP yang berefek pada vaskular, khususnya pada Nucleus Tractus Solitarius
(NTS). Sejumlah stimulus, yang terbanyak bersala dari viseral, dapat
menghilangkan respon yang berakibat pengurangan atau hilang tonus simpatis dan
diikuti dengan peningkatan aktivitas vagal. NTS pada medula mengintegrasikan
stimulus afferen dan sinyal baroreceptor dengan simpatis efferen yang
mempertahankan tonus vaskular. Beberapa studi mengatakan terdapat gangguan
pada pengaturan kontrol simpatis dan juga sinyal baroreceptor.
Terminologi ini merupakan bentuk dari seluruh sinkop yang berasal dari sinyal
saraf SSP yang berefek pada vaskular, khususnya pada Nucleus Tractus Solitarius
(NTS). Sejumlah stimulus, yang terbanyak bersala dari viseral, dapat
menghilangkan respon yang berakibat pengurangan atau hilang tonus simpatis dan
diikuti dengan peningkatan aktivitas vagal. NTS pada medula mengintegrasikan
stimulus afferen dan sinyal baroreceptor dengan simpatis efferen yang
mempertahankan tonus vaskular. Beberapa studi mengatakan terdapat gangguan
pada pengaturan kontrol simpatis dan juga sinyal baroreceptor.
4)
Sinkop refleks
Sinkop refleks disebabkan oleh gangguan pengisian jantung sebelah
kanan dan hipoperfusi serebral keseluruhan. Pasien biasanya sedang berdiri
tegak sebelum suatu episode karena pengumpulan darah akibat gravitasi
berperan dalam penyebabnya. Penyebab yang potensial antara lain, emboli
atau infark paru, tamponade pericardium, hipertensi paru, uterus hamil karena menekan vena kava inferior dan batuk, yang menurunkan beban awal dengan meningkatkan tekanan intrathoraks.
kanan dan hipoperfusi serebral keseluruhan. Pasien biasanya sedang berdiri
tegak sebelum suatu episode karena pengumpulan darah akibat gravitasi
berperan dalam penyebabnya. Penyebab yang potensial antara lain, emboli
atau infark paru, tamponade pericardium, hipertensi paru, uterus hamil karena menekan vena kava inferior dan batuk, yang menurunkan beban awal dengan meningkatkan tekanan intrathoraks.
5)
Lain-lain
a. Sinkop batuk
Keadaan ini merupakan keadaan langka yang terjadi akibat serangan batuk
yang mendadak dan
biasanya dijumpai pada
laki-laki yang menderita bronchitis kronis.
Setelah batuk-batuk kuat,
pasien tiba-tiba lemah
dan kehilangan kesadarannya untuk sementara. Tekanan intrathorakal
meninggi dan mennganggu vena balik ke jantung sebagaimana halnya pada maneuver
valsava (ekshalasi dengan glottis tertutup).
b. Sinkop pascamiksi
Suatu keadaan yang biasanya terlihat pada lansia selama atau sesudah
urinasi. Khususnya setelah
bangkitan dari posisi
berbaring, barangkali merupakan
tipe khusus sinkop vasodepressor. Diperkirakan bahwa pelepasan tekanan
intravesikuler menyebabkan vasodilatasi mendadak yang diperberat lagi dengan
berdiri, dan bahwa bradikardia yang terjadi lewat mediator vagal merupakan
factor yang turut menyebabkan sinkop tersebut.
c. Psikogenik
Serangan ansietas atau
kecemasan acapkali diinterpretasikan sebagai
perasaan mau pingsan tanpa kehilangan kesadaran yang sesungguhnya. Gejala
tersebut tidak disertai dengan wajah yang pucat dan juga tidak menghilang
setelah pasien dibaringkan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala lain yang
menyertai, dan bagian dari serangan tersebut dapat ditimbulkan kembali
dengan hiperventilasi. Dua mekanisme yang diketahui terlibat dalam proses
terjadinya serangan tersebut adalah penurunan kadar karbon dioksida sebagai
akibat hiperventilasi dan pelepasan hormone epineprin. Hiperventilasi akan
mengakibatkan hipokapnia, alkalosis, peningkatan resistensi serebrovaskuler
dan penurunan aliran darah serebral.
perasaan mau pingsan tanpa kehilangan kesadaran yang sesungguhnya. Gejala
tersebut tidak disertai dengan wajah yang pucat dan juga tidak menghilang
setelah pasien dibaringkan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala lain yang
menyertai, dan bagian dari serangan tersebut dapat ditimbulkan kembali
dengan hiperventilasi. Dua mekanisme yang diketahui terlibat dalam proses
terjadinya serangan tersebut adalah penurunan kadar karbon dioksida sebagai
akibat hiperventilasi dan pelepasan hormone epineprin. Hiperventilasi akan
mengakibatkan hipokapnia, alkalosis, peningkatan resistensi serebrovaskuler
dan penurunan aliran darah serebral.
d. Nyeri ligamentosa atau visceral berat
e. Dapat juga terjadi sebagai kelanjutan vertigo berat.
2.3 Faktor Resiko
Berdasarkan San Fransisco Syncope Rule (SFSR), terdapat lima kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan risiko jangka pendek (7 hari) untuk
pasien dengan syncope. Kriteria itu adalah pasien dengan
gagal jantung kongestif, nilai hematokrit <30%,
kelainan EKG (irama nonsinus dan perubahan baru), sesak napas, dan nilai sistol <90 mm Hg. Jika pasien memiliki minimal satu dari kriteria
tersebut, mereka memiliki risiko jangka pendek sebesar 25%
untuk mengalami outcome yang serius seperti
kematian, infark miokard, aritmia jantung, emboli paru, stroke, pendarahan subaraknoid, pendarahan yang signifikan, kunjungan kembali ke UGD, atau
rawat inap di rumah sakit.
Selain
itu, American College
of Emergency Physician
mengembangkan sebuah kebijakan bagi pasien syncope untuk
masuk rumah sakit berdasarkan faktor risikonya.
Pasien dengan usia tua dan memiliki penyakit penyerta, EKG yang abnormal, nilai hematokrit <30%, dan riwayat atau adanya penyakit
gagal jantung kongestif, iskemia, atau penyakit struktural
jantung lain memiliki risiko tinggi untuk mengalami efek
samping yang berbahaya dan sebaiknya dibawa ke rumah sakit.
European
Society of Cardiology
mengembangkan pedoman lain
untuk mengetahui kebutuhan akan intervensi
diagnostik dan terapeutik berdasarkan faktor risiko. Pasien
dengan kecurigaan atau penyakit jantung struktural yang sudah ada, EKG yang abnormal, pingsan selama melakukan aktivitas fisik atau dalam
posisi berbaring,
pingsan yang menyebabkan
luka yang parah (seperti fraktur
dan pendarahan intrakranial), riwayat keluarga
sudden cardiac death, atau kecurigaan malfungsi dari
alat yang ditanam pada tubuh pasien disarankan masuk rumah sakit untuk evaluasi diagnostik. Indikasi terapeutik untuk masuk rumah sakit
adalah pingsan
karena aritmia jantung,
iskemia, penyakit jantung
struktural, penyakit kardiopulmoner, atau neurally-mediated bradycardia yang membutuhkan
implantasi pacemaker.
2.4 Patofisiologi
Pingsan (sinkop) adalah kehilangan kesadaran secara tiba-tiba, biasanya
hanya
beberapa detik atau menit, karena otak tidak mendapatkan cukup oksigen pada
bagian-bagian otak yang merupakan bagian kesadaran. Terdapat penurunan kesadaran
aliran darah, pengisian oksigenasi cerebral, resistensi serebrovaskuler yang dapat ditunjukkan. Jika iskemia hanya berakhir beberapa menit, tidak terdapat efek pada
otak.
beberapa detik atau menit, karena otak tidak mendapatkan cukup oksigen pada
bagian-bagian otak yang merupakan bagian kesadaran. Terdapat penurunan kesadaran
aliran darah, pengisian oksigenasi cerebral, resistensi serebrovaskuler yang dapat ditunjukkan. Jika iskemia hanya berakhir beberapa menit, tidak terdapat efek pada
otak.
Iskemia yang lama
mengakibatkan nekrosis jaringan
otak pada daerah perbatasan dari
perfusi antara daerah
vaskuler dari arteriserebralis mayor. Patofisiologi dari sinkop terdiri dari
tiga tipe:
1)
Penurunan output jantung
sekunder pada penyakit jantung intrinsic atauterjadi penurunan klinis volume
darah yang signifikan.
2)
Penurunan resistensi pembuluh
darah perifer dan atau venous return.
3)
Penyakit serebrovaskular
klinis signifikan yang mengarahkan pada penurunan perfusi serebral. Terlepas
dari penyebabnya, semua kategori ini ada beberapa factor umum, yaitu gangguan
oksigenasi otak yang memadai mengakibatkan perubahan kesadaran sementara.
Aliran darah yang berkurang ke otak dapat terjadi karena 1) jantung gagal
untuk memompa darah; 2) pembuluh-pembuluh darah tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan tekanan darah untuk memasok darah ke otak; 3)
tidak ada cukup darah atau cairan didalam pembuluh-pembuluh darah; atau 4) gabungan dari sebab-sebab satu, dua, atau tiga diatas.
untuk memompa darah; 2) pembuluh-pembuluh darah tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan tekanan darah untuk memasok darah ke otak; 3)
tidak ada cukup darah atau cairan didalam pembuluh-pembuluh darah; atau 4) gabungan dari sebab-sebab satu, dua, atau tiga diatas.
Perubahan-perubahan irama jantung adalah penyebab-penyebab yang paling
umum dari pingsan
atau syncope. Sementara
ini mungkin terdengan
tidak menyenangkan, seringkali pingsan disebabkan oleh perubahan
sementara pada fungsi tubuh yang normal.
Adakalanya, perubahan irama jantung (aritmia) adalah lebih berbahaya dan
berpotensi mengancam nyawa. Jantung adalah pompa listrik, dan jika
persoalanpersoalan sistim listrik hadir, jantung mungkin adakalanya tidak mampu
untuk memompa cukup darah, menyebabkan kejatuhan-kejatuhan jangka pendek pada
tekanan darah. Persoalan-persoalan elektrik mungkin menyebabkan jantung untuk
berdenyut terlalu cepat atau terlalu perlahan.
Denyut jantung yang cepat atau tachycardia (tachy = cepat + cardia =
jantung)
adalah irama abnormal yang dihasilkan pada kamar-kamar jantung bagian atas atau
bagian bawah dan mungkin mengancam nyawa. Jika jantung berdenyut terlalu cepat,
mungkin tidak ada cukup waktu untuknya untuk mengisi dengan darah diantara setiap denyut jantung, yang mengurangi jumlah darah yang dapat diantar jantung keseluruh tubuh. Tachycardias dapat terjadi pada segala umur dan mungkin tidak berhubungan pada penyakit jantung atherosclerotic.
adalah irama abnormal yang dihasilkan pada kamar-kamar jantung bagian atas atau
bagian bawah dan mungkin mengancam nyawa. Jika jantung berdenyut terlalu cepat,
mungkin tidak ada cukup waktu untuknya untuk mengisi dengan darah diantara setiap denyut jantung, yang mengurangi jumlah darah yang dapat diantar jantung keseluruh tubuh. Tachycardias dapat terjadi pada segala umur dan mungkin tidak berhubungan pada penyakit jantung atherosclerotic.
Dengan bradycardia, atau denyut jantung yang lamban (brady = lamban +
cardia = jantung), kemampuan
jantung untuk memompa
darah mungkin dikompromikan.
Ketika jantung menua, sistik elektrik dapat menjadi rapuh dan jantung terhalang, atau
gangguan-gangguan dari sistim
elektrik dapat terjadi, menyebabkan denyut jantung untuk
melambat.
Disamping persoalan-persoalan struktur elektrik dengan jantung, obat-obat
mungkin adalah tertuduhnya. Ketika mengkonsumsi obat-obat yang diresepkan untuk
kontrol tekanan darah [contohnya, beta blockers seperti metoprolol (Lopressor, Toprol XL), propranolol (Inderal, Inderal LA), atenolol (Tenormin), atau calcium channel blockers seperti diltiazem (Cardizem, Dilacor, Tiazac), verapamil (Calan, Verelan dan lain-lain), amlodipine (Norvasc)], jantung dapat adakalanya menjadi lebih sensitif pada efek-efek dari obat-obat ini dan berdenyut lambat secara abnormal dan mengurangi output (keluaran) dari jantung.
mungkin adalah tertuduhnya. Ketika mengkonsumsi obat-obat yang diresepkan untuk
kontrol tekanan darah [contohnya, beta blockers seperti metoprolol (Lopressor, Toprol XL), propranolol (Inderal, Inderal LA), atenolol (Tenormin), atau calcium channel blockers seperti diltiazem (Cardizem, Dilacor, Tiazac), verapamil (Calan, Verelan dan lain-lain), amlodipine (Norvasc)], jantung dapat adakalanya menjadi lebih sensitif pada efek-efek dari obat-obat ini dan berdenyut lambat secara abnormal dan mengurangi output (keluaran) dari jantung.
Kehilangan dari cairan
intravascular, itu adalah
darah dan air
didalam
pembuluh-pembuluh darah, dapat juga menyebabkan pingsan atau syncope. Biasanya,
pingsan akan terjadi ketika seseorang berdiri dengan cepat dan tidak ada cukup waktu
untuk tubuh untuk mengkompensasi dengan membuat jantung berdenyut lebih cepat,
atau mempunyai pembuluh-pembuluh darah untuk mengerut untuk mempertahankan
tekanan darah tubuh dan aliran darah ke otak. Ini dirujuk sebagai postural
hypotension.
pembuluh-pembuluh darah, dapat juga menyebabkan pingsan atau syncope. Biasanya,
pingsan akan terjadi ketika seseorang berdiri dengan cepat dan tidak ada cukup waktu
untuk tubuh untuk mengkompensasi dengan membuat jantung berdenyut lebih cepat,
atau mempunyai pembuluh-pembuluh darah untuk mengerut untuk mempertahankan
tekanan darah tubuh dan aliran darah ke otak. Ini dirujuk sebagai postural
hypotension.
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi pada pasien sinkop bervariasi tergantung dari
etiologinya. Pada umumnya orang dengan
sinkop akan mengalami
gejala yang meliputi
pusing, penglihatan kabur, berkunang-kunang, berkeringat,
dan pucat. Sinkop
sering disebabkan oleh karena penyebab kardiovaskular maupun
neurologikal.
1) Penyebab
cardiovascular :
Hipoxia cerebral
akibat perfusi yang buruk yang menyebabkan kehilangan kesadaran sementara.
Peningkatan pada kapasitas vaskular atau penurunan curah jantung dapat menyebabkan perfusi
otak yang buruk.
Curah jantung dapat
berkurang akibat hipovolemia atau
perubahan pada detak jantung seperti bradikardia atau kelainan detak jantung.
Sinkop kardiovaskular
biasanya dikarakteristikan sebagai : gejala prodormal seperti : berkeringat, pusing,
perubahan pada penglihatan. Fase sinkop seperti : kelemahan otot, konfusi . Fase
penyembuhan yang cepat dan dikarakterisasikan kesadaran yang cepat
2) Pada
hipotensi ortostatik :
ü
Kepala terasa ringan, pusing, gangguan
penglihatan
ü
Lemah, berdebar, gemetar à sinkop
3) Penyebab
neurologikal :
Sinkop neurologikal
sering diasosiasikan dengan perubahan pada aktivitas listrik pada otak. Sinkop
sendiri harus dapat dibedakan dengan kejang. Pada pasien kejang lebih sering
mengalami perubahan gerakan motorik, proses penyembuhan yang lebih lama, dan
perubahan pada EEG saat terjadinya serangan.
4) Pada
kelainan metabolik :
Hipoglikemia
Dapat terjadi pada
pasien dengan atau tanpa diabetes. Biasanya terjadi cepat, dengan periode
selama beberapa menit. Gejala awal biasanya pusing dan kepala terasa ringan.
Keringat berlebihan dan
hipersalivasi juga sering
terjadi. Pasien juga
tampak kebingungan dan terjadi kelemahan dan inkoordinasi.
Hiperglikemia
Kadar glukosa darah yang
terlalu tinggi juga dapat menyebabkan sinkop. Hal ini dapat terjadi pada pasien
dengan diabetes, termasuk diabetes ketoacidosis. Gejala pada umumnya
adalah penurunan berat
badan, haus, dan
urine output yang meningkat. Pasien juga terlihat dehidrasi,
kulit kering, dan tercium bau keton dari nafasnya. Terdapat juga karakteristik
yaitu pernafasan yang dalam dan berat yang disebut dengan Kussmaul's breath.
5) Respon
pupil dan diagnosis yang memungkinkan :
Tanda
pupil:
ü
Keduanya tetap dan dilatasi à kematian, syok hipovolemik, obat seperti
atropin, adrenalin, dan ecstasy
ü
Unilateral tetap dan dilatasi à cedera
kepala, stroke
ü
Keduanya pinpoint dan konstriksi à overdosis
opium
ü
Konstriksi bilateral à stroke
batang otak
ü
Pupil ireguler à trauma,
riwayat operasi mata
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis sinkop sering
merupakan sesuatu keadaan sulit. Hal ini disebabkan karena kejadian sinkop
tersebut secara tiba-tiba dan jarang, sehingga
sulit untuk dapat
melakukan pemeriksaan fisik
ataupun membuat rekaman jantung
saat kejadian tersebut.
Untuk itu perlu pemeriksaan lebih
lanjut untuk mendiagnosis sinkop
sehingga penatalaksanaan dapat segera dilakukan.
1)
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Pada
pasien sinkop kehilangan
kesadaran terjadi akibatnya berkurangnya
perfusi darah diotak. Penting diketahui riwayat kejadian disaat-saat sebelum
terjadinya sinkop tersebut
untuk menentukan penyebab sinkop
serta menyingkirkan diagnosis banding
yang ada. Dari anamnesis harus
ditanyakan riwayat pasien
secara teliti sehingga dari
riwayat tersebut dapat
mengambarkan kemungkinan penyebab
sinkop atau dapat sebagai petunjuk untuk strategi evaluasi pada pasien.
Gambaran klinis yang muncul pada setiap pasien sangat penting untuk diketahui
terutama faktor-faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya sinkop
beserta akibatnya.
Hal-hal penting yang ditanyakan pada saat
anamnesis tercantum pada tabel1 berikut. Sebaiknya semua hal yang tercantum
ditanyakan secara teliti dan seksama, selain berguna untuk diagnosis,
mengetahui riwayat kejadian juga dapat merupakan strategi untuk evaluasi.
Sebagai contoh, penyebab kardiak sangat mungkin ddipikirkan apabila sinkop
didahului dengan keluhan
berdebar-debar atau sinkop
terjadi pada posisi terlentang
atau pada saat/selama melakukan aktivitas fisik.
Pertanyaan pada
anamnesis pasien dengan sinkop.
Pertanyaan seputar
keadaan saat sebelum serangan.
ü Pasien
(duduk, terlentang atau berdiri)
ü Aktivitas (istirahat,
perobahan posisi,
sedang/habis melakukan latihan fisik,
sedang atau sesaat setelah berkemih,
buang air besar, batuk atau menelan).
ü Faktor-faktor predisposisi (misalnya tempat
ramai atau panas, berdiri dalam waktu lama, saat setelah
makan) dan faktor yang
memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher)
memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher)
Pertanyaan mengenai
saat terjadinya serangan.
ü Mual,
muntah, rasa tidak enak diperut, rasa dingin, berkeringat,
nyeri pada leher atau bahu, penglihatan kabur.
nyeri pada leher atau bahu, penglihatan kabur.
Pertanyaan mengenai
serangan yang terjadi (saksi mata)
ü Bagaimana
cara seseorang tersebut jatuh (merosot atau berlutut),
warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan), lamanya hilangnya
kesadaran, jenis pernafasan (mengorok), pergerakan (tonik, klonik,
tonik-klonik), lama kejadiannya, jarak antara timbulnya
pergerakan tersebut dengan kejadian jatuh, lidah tergigit)
warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan), lamanya hilangnya
kesadaran, jenis pernafasan (mengorok), pergerakan (tonik, klonik,
tonik-klonik), lama kejadiannya, jarak antara timbulnya
pergerakan tersebut dengan kejadian jatuh, lidah tergigit)
Pertanyaan mengenai
latar belakang
ü Riwayat
keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung
aritmogenik kongenital atau pingsan.
aritmogenik kongenital atau pingsan.
ü Riwayat
penyakit jantung sebelumnya.
ü Riwayat
kelainan neurologis (parkinsonisme, epilepsi, narkolepsi)
ü Gangguan
metabolik (misalnya diabetes melitus)
ü Obat-obatan
(anti hipertensi, anti depresan, antiaritmia, diuretika
dan obat-obatan yang dapat membuat QT memanjang)
dan obat-obatan yang dapat membuat QT memanjang)
ü Bila terjadi
sinkop berulang, keterangan mengenai berulangnya
sinkop misalnya waktu dari saat episode sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi.
sinkop misalnya waktu dari saat episode sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi.
2)
Pemeriksaan Fisik
a) Airway,
breathing, circulation
b) Tanda-tanda
Vital : tekanan darah, nadi, laju pernafasan, suhu
c) Pemeriksaan
fisik jantung (mencari etiologi sinkop akibat jantung seperti mendengarkan murmur), neurologi (defisit
neurologis, neuropati perifer), abdomen dan
pelvis (untuk mendiagnosis ada tidaknya perdarahan saluran pencernaan,
aneurisma aorta, rupture kehamilan ektopik, dan lain-lain).
d) Pemeriksaan
rektal (Rectal examination) untuk mengetahui ada
tidaknya perdarahan
saluran pencernaan.
e)
Tes hipotensi ortostatik Dalam
pemeriksaan ini, pasien diminta untuk berbaring (supinasi) selama 5-10 menit
dan setelah itu pasien diminta untuk berdiri. Kemudian ukur tekanan darah
pasien 2-3 kali selama beberapa menit.
f)
Tanda trauma yang terjadi
g)
Carotid massage
Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menilai
hipersensitivitas sinus carotis.
Pemeriksa melakukan pijatan pada daerah A. carotis (tidak boleh bersamaan)
selama 5-10 detik lalu lihat tanda-tanda pada pasien (dapat terjadi penurunan
nadi dan perubahan tekanan darah). Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan
untuk pasien yang memiliki riwayat infark miokard, stroke, atau ventricular
tachycardia, serta bila terdengar carotid bruit pada hasil auskultasi). Selama
pemeriksaan, pasien harus dipantau dengan EKG secara terus menerus dan
monitoring tekanan darah. Pemijatan pada sinus karotis ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara halus pada sinus karotis.
Pemeriksa melakukan pijatan pada daerah A. carotis (tidak boleh bersamaan)
selama 5-10 detik lalu lihat tanda-tanda pada pasien (dapat terjadi penurunan
nadi dan perubahan tekanan darah). Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan
untuk pasien yang memiliki riwayat infark miokard, stroke, atau ventricular
tachycardia, serta bila terdengar carotid bruit pada hasil auskultasi). Selama
pemeriksaan, pasien harus dipantau dengan EKG secara terus menerus dan
monitoring tekanan darah. Pemijatan pada sinus karotis ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara halus pada sinus karotis.
Indikasi :
Pasien dengan umur
lebih 40 tahun dengan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya setelah evaluasi
awal. Pada pasien dengan resiko strok karena penyakit arteri karotis, pemijatan
harus dihindarkan.
Metodologi :
Pemijatan dilakukan
dengan posisi pasien telungkup dan tegak lurus, pemijatan dilakukan dari
samping kiri dan kanan, dengan monitoring EKG dan tekanan darah. Lama pemijatan
minimal 5 detik dan maksimal 10 detik.
Diagnosis. :
Test positif bila
selama atau segera setelah pemijatan terjadi asistole ≥ 3 detik dan atau
terjadi penurunan tekanan sistolik ≥ 50 mmHg.
h)
Manuver hiperventilasi
Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada pasien usia muda dengan etiologi sinkop yang tidak diketahui.
Pasien diminta bernafas dengan mulut terbuka (tarik nafas lambat dan dalam)
dengan laju 20-30 kali per menit dalam 2-3 menit lalu
amati perubahan yang terjadi
pada pasien. Rekurensi gejala prodromal atau sinkop
menunjukkan kaitan sinkop dengan gangguan psikiatri (anxiety related syncope).
i)
Exercise stress testing
Pasien diminta untuk
melakukan latihan fisik tertentu lalu amati fungsi jantungnya. Bila setelah
melakukan latihan pasien menjadi hipotensi dan bradikardia, maka pasien
mengalami instabilitas vasomotor reflektif. Pasien yang tidak dapat menjalani
pemeriksaan ini merupakan pasien yang menderita infark miokard dan aritmia
ventrikel. Indikasi :
Sinkop yang terjadi
selama atau setelah latihan.
Diagnosis.
Klas I :
ü Bila ada
EKG dan hemodinamik abnormal dan sinkop terjadi selama atau segera setelah
latihan.
ü Jika
Mobitz derjad II atau AV Blok derjad III terjadi selama latihan meskipun tanpa
sinkop.
Klasifikasi respon
positif dari Tilt testing.
Tipe 1.Campuran.
Denyut jantung menurun pada saat sinkop tetapi
laju ventrikel tidak menurun <40 kali/ menit atau turun sampai <40
kali/menit selama minimal 10 detik dengan atau tanpa periode asistol<3 detik.
Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 2A. Hambatan
kardiak tanpa asistol
Denyut jantung menurun sampai laju ventrikel
<40 kali/menit selama lebih dari 10 detik tetapi tidak terjadi episode asistol yang > 3 detik. Tekana darah
menurun sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 2B. Hambatan
kardiak dengan asistol
Asistol terjadi >3 detik. Tekanan darah
menurun bersamaan dengan atau terjadi sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 3. Vasodepresor.
Denyut jantung tidak menurun > 10 % dari
puncaknya saat sinkop.
Pengecualian 1.
Inkompetensi kronotropik
Tidak terjadi peningkatan denyut jantung selama
tilt testing (misalnya <10% dari laju pre-tilt testing).
Pengecualian 2.
Peningkatan denyut jantung berlebihan.
Peningkatan denyut
jantung yang berlebihan pada saat posisi tegak dan selama waktu sebelum sinkop
(misalnya >130 kali/menit.
j)
Head up tilt table testing
Dalam pemeriksaan
ini, pasien berbaring dalam posisi horisontal selama 10
menit lalu meja akan digoyang 60-80o selama 45 menit. Manuver ini akan
memberikan efek penurunan central venous pressure (CVP), pengisian ventrikel jantung, stroke volume, serta mean arterial pressure (MAP). Hasil pemeriksaan ini positif bila terjadi sinkop atau presinkop dan hipotensi dengan atau tanpa bradikardia. Test ini merupakan pemeriksaan standar dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop.
menit lalu meja akan digoyang 60-80o selama 45 menit. Manuver ini akan
memberikan efek penurunan central venous pressure (CVP), pengisian ventrikel jantung, stroke volume, serta mean arterial pressure (MAP). Hasil pemeriksaan ini positif bila terjadi sinkop atau presinkop dan hipotensi dengan atau tanpa bradikardia. Test ini merupakan pemeriksaan standar dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop.
Indikasi Tilt-Table-Testing :
ü Serangan
sinkop pertama kali yang tidak dapat diterangkan pada pasien resiko tinggi,
atau sinkop berulang tanpa adanya penyakit jantung organik.
ü Pasien dengan
sinkop yang dimediasi
persyarafan (Neurally-mediated
syncope).
ü Bila
diketahui karakteristik hemodinamik sinkop dapat merubah terapi.
ü Untuk
membedakan sinkop dengan kejang karena epilepsi.
ü Untuk
mengevaluasi pasien dengan sinkop berulang yang tidak dapat dijelaskan.
ü Untuk
menilai pre-sinkop berulang atau pusing.
Metodologi :
Klas I.
ü Pasien
telungkup minimal 5 menit bila tidak
ada kanulasi vena, dan sedikitnya 20 menit bila dilakukan kanulasi.
ü Sudut
kemiringan 60-70 derjat.
ü Fase pasif
minimal 20 menit dan maksimal 45 menit.
ü Penggunaan isoprenaline
atau isoproterenol intravena,
atau nitrogliserin
sublingual untuk obat
provokasi jika fase
pasif negatif. Test provokasi dilakukan selama 15-20 menit.
ü Isoproterenol diberikan 1-3 µg/menit,
untuk meningkatkan denyut jantung
20-25 % dari denyut jantung sebelumnya.
ü Nitrogliserin
400 µg sublingual dengan posisi berdiri tegak.
ü Test
positif bila terjadi sinkop.
Klas II
ü Ada
perbedaan pendapat pada kasus yang diinduksi pre-sinkop
Diagnosis :
Klas I
ü Pada
pasien tanpa kelainan struktur jantung, tilt testing sebagai diagnostik, dan
tidak ada test lain yang dilakukan bila timbul sinkop secara spontan.
ü Pada
pasien dengan kelainan struktur jantung, penyebab kardiak dapat disingkirkan
sebelumnya untuk mempertimbangkan tilt testing positif pada sinkop yang
dimediasi persyarafan.
Klas II.
Secara klinik respon
abnormal lainnya dari sinkop tidak jelas.
k) ATP Test
Indikasi :
Pada keadaan tidak adanya data yang kuat,
test ini dilakukan terakhir untuk menegakkan diagnosis.
Metodologi :
Bolus 20 mg ATP
dengan monitor EKG. Bila asistole > 6 detik atau blok atrioventrikular > 10 detik, berarti abnormal.
Diagnosis :
Test ATP dapat menyebabkan respon abnormal
pada beberapa pasien sinkop yang tidak
diketahui sebabnya, dengan gambaran klinik dan prognosis yang baik.
Terapi khusus harus ditunda sampai mekanisme sinkop dapat dijelaskan.
3)
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan darah rutin seperti elektrolit,
enzim jantung, kadar gula
darah dan hematokrit
memiliki nilai diagnostik
yang rendah, sehingga pemeriksaan
tersebut tidak direkomendasikan pada
pasien dengan sinkop kecuali terdapat indikasi tertentu dari hasil
anamnesis dan
pemeriksaan fisis, misalnya
pemeriksaan gula darah
untuk
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia dan kadar hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia harus disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi.
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia dan kadar hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia harus disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi.
4)
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan
elektrokardiografi harus selalu
dilakukan pada pasien sinkop walaupun
tidak banyak informasi
yang didapat bila sinkop
tersebut disebabkan nonkardiak. Beberapa penemuan penting yang dapat
diperoleh dari pemeriksaan ini serta kemungkinan dapat diidentifikasi
sebagai penyebab sinkop antara lain pemanjangan interval QT, pemendekan
interval PR dan gelombang delta (pada
sindrom Wolf-
Parkinson-White), blok berkas cabang kanan dengan elevasi segmen ST (pada sindrom Brugada), infark miokard akut, blok atrioventrikular derajad tinggi. Banyak pasien sinkop menunjukan rekaman elektrokardiografi yang normal. Hai ini sangat berguna untuk menunjukan kemungkinan kecil penyebab sinkop berasal dari kelainan
kardiak, yang berhubungan dengan prognosis yang lebih baik, terutama bila terjadi pada pasien usia muda yang mengalami sinkop.
Parkinson-White), blok berkas cabang kanan dengan elevasi segmen ST (pada sindrom Brugada), infark miokard akut, blok atrioventrikular derajad tinggi. Banyak pasien sinkop menunjukan rekaman elektrokardiografi yang normal. Hai ini sangat berguna untuk menunjukan kemungkinan kecil penyebab sinkop berasal dari kelainan
kardiak, yang berhubungan dengan prognosis yang lebih baik, terutama bila terjadi pada pasien usia muda yang mengalami sinkop.
Gambaran EKG yang
menunjukan sinkop akibat aritmia.
ü Blok bifasikular (didefinisikan sebagai
blok berkas cabang
kiri atau blok berkas cabang kanan atau blok fasikular posterior kiri).
ü Abnormalitas/kelainan
konsuksi intraventrikular lain (durasi QRS
> 0,12 detik).
ü Blok
atrioventrikular derajat dua Mobitz I
ü Bradikardia
sinus asimptomatik (<50 derajad permenit) atau blok sinoatrial.
ü Komplek
QRS praeksitas
ü Interval
QT memanjang.
ü Pola blok
berkas cabang kanan dengan elevasi ST pada sadapan V1-V3 (sindrom Brugada)
ü Gelombang T negatif pada sadap prakordial kanan, gelombang epsilon dan
kelambatan ventrikular yang berpotensi pada dugaan dispasia ventrikular kanan
aritmogenik.
ü Gelombang
Q diduga infark miokard.
5) Ekokardiografi
Digunakan sebagai uji penapisan untuk deteksi
penyakit jantung pada pasien dengan sinkop. Walaupun mempunyai
nilai diagnosis yang rendah bila dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan EKG
tidak ditemukan abnormalitas
kardiak. Pada pasien
yang mengalami sinkop
dan presinkop dengan pemeriksaan fisik yang normal, kelainan yang paling sering ditemukan (4-6% sampai 18-50%) adalah prolaps katup mitral. Abnormalitas kardiak
lain termasuk penyakit
katup jantung paling banyak stenosis aorta.
Kardiomiopati, abnormalitas pergerakan
dinding ventrikel regional yang menunjukan
kemungkinan terdapat infark
miokard, penyakit jantung infiltratif seperti amiloidosis, tumor kardiak, aneurisma dan tromboemboli atrial. Penemuan kelainan
kardiak ini penting
sebagai stratifikasi resiko. Bila ditemukan kelainan
jantung yang sedang-berat maka evaluasi
langsung dilakukan pada penyebab kardiak dari sinkop
tersebut. Disisi lain bila kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan struktur jantung.
tersebut. Disisi lain bila kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan struktur jantung.
6) Elektrofisiologi
Dilakukan bila dicurigai sinkop
disebabkan oleh aritmia (pasien dengan
abnormalitas EKG dan atau terdapat penyakit struktur jantung atau sinkop yang
berhubungan dengan palpitasi atau pasien dengan riwayat kematian mendadak pada
keluarga). Sedangkan untuk diagnosis dikatakan apabila hasil elektrofisiologi
normal tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan
aritmia sebagai penyebab
sinkop, sangat dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan selanjutnya. Pada
beberapa keadaan dikatakan elektrofisiologi sangat
tinggi nilai diagnostiknya
sehingga tidak diperlukan pemeriksaan tambahan lain.
2.7 Alogaritma Penanganan Sinkop
2.8 Penatalaksanaan
Pingsan atau disebut juga sinkop ialah
kehilangan kesadaran sesaat karena aliran darah ke otak untuk sementara
berkurang. Berbeda dengan shock, denyut nadi menjadi lebih lambat, meskipun
akan segera meningkat kembali. Biasanya pasien bisa segera pulih.
Dalam menangani pasien yang
mengalami sinkop, kita harus bisa memastikan faktor pencetus atau penyebab
sehingga penanganan yang dilakukan bisa sesuai. Penyebab pingsan yang patut
kita perhatikan di antaranya adalah gangguan tonus vaskular atau volume darah,
gangguan kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, serta kelainan lain seperti
gangguan metabolik, psikogenik dan kejang. Sinkop yang disebabkan oleh
kelainan jantung beresiko menyebabkan kematian.
Sebagai bentuk pencegahan, pasien yang
mengalami sinkop berulang atau memiliki riwayat pingsan tanpa gejala terlebih
dahulu sebaiknya menghindari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan cedera
lebih lanjut apabila dia sampai kehilangan kesadaran pada saat melakukan
kegiatan tersebut seperti berenang sendirian, mengoperasikan mesin berat atau
mengemudi. Pasien usia lanjut dengan pusing atau sinkop beresiko mendapatkan
cedera traumatik. Morbiditas dan mortalitas pasien usia lanjut sangat
signifikan saat mereka terjatuh ketika kehilangan kesadaran.
Sebelum seseorang pingsan, biasanya ada pertanda yang
dirasakan. Oleh karena itu, bisa dilakukan pernafasan dalam, serta teknik
relaksasi untuk menghindari pingsan. Teknik tersebut bisa membantu mengontrol
pingsan yang berkaitan dengan regulasi tekanan darah.
Berbaring setidaknya 10-15 menit ditempat yang sejuk
dan tenang. Pada saat muncul gejala akan pingsan seperti kepala terasa ringan,
mual atau kulit dingin dan lembab, dapat dilakukan counter-pressure maneuvers
seperti mengepalkan jari tangan, menegangkan tangan, dan menyilangkan kaki atau
merapatkan paha. Jika pingsan terjadi sering tanpa kejadian yang memicu,
biasanya merupakan pertanda penyakit jantung yang mendasarinya.
Jika sudah mengalami kehilangan kesadaran, pasien
sebaiknya diposisikan pada posisi yang mendukung
aliran darah ke otak, terlindung dari trauma dan mendapatkan jalan nafas yang
aman.
Tindakan yang dapat dilakukan pada pertolongan pertama pada pingsan adalah
membaringkan pasien dengan kaki ditinggikan dan ditopang. Pasien harus dipastikan
bisa mendapatkan udara segar. Oleh karena itu, jendela sebaiknya dibuka atau
jika berada di luar ruangan atau di keramaian, jangan sampai dikerubungi. Jika
kesadaran tidak segera pulih, pernapasan dan nadi harus diperiksa serta bersiap
melakukan resusitasi untuk mengantipasi apabila diperlukan.
Jika memungkinkan, pasien sebaiknya terbaring dengan
posisi supinasi serta kepala menghadap ke satu sisi untuk mencegah aspirasi dan
terhambatnya jalan nafas oleh lidah. Selanjutnya, penilaian nadi dan auskultasi
jantung dapat membantu menentukan apakah pingsan tersebut berkaitan dengan
bradiaritmia atau takiaritmia. Pakaian
yang menempel ketat sebaiknya dilonggarkan, terutama pada leher dan pinggang. Stimulasi perifer seperti meneteskan
air pada wajah dapat membantu menyadarkan pasien. Pemberian apapun ke mulut
pasien, termasuk air, sebaiknya dihindari jika pasien masih berada dalam
kelemahan secara fisik.
Secara garis besar, penatalaksanaan penurunan
kesadaran ( Sinkop ) dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1)
Umum
a.
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan
leher sedikit ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal
dan tekanan intracranial yang meningkat.
b.
Posisi Trendelenburg berguna untuk mengeluarkan cairan
trakeobronkhial, untuk memastikan jalan nafas lapang. Gigi palsu dikeluarkan
serta lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
c.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma
servikal, pasang infuse sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
d.
Pasang monitor jantung jika tersedia bersamaan dengan
melakukan EKG.
e.
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi lambung untuk
mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga terjadi intoksikasi.
Berikan thiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb.
2)
Khusus
Pada herniasi
a.
pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target
PCO2 : 25-30 mmHg
b.
Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/kgbb atau 100
gr iv. Selama 10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr
setiap 6 jam.
c.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan
deksametason 10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
d.
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang
operable seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi
Tanpa herniasi
a.
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti
b.
Jika pada CT scan tidak ditemukan kelainan, lanjutkan
dengan pemeriksaan fungsi lumbal. Jika LP positif ada infeksi, berikan
antibiotic yang sesuai. Jika ada pedarahan terapi sesuai dengan pengobatan
subarachnoid hemorrhage.
c.
Pasien yang mengalami sinkop vasovagal sebaiknya
diinstruksikan untuk menghindari situasi atau stimulus yang menyebabkan dia
kehilangan kesadaran sebelumnya atau bisa juga disarankan untuk berbaring
apabila gejala awal pingsan mulai terasa. Tilt training, berdiri dan
bersandar melawan tembok dengan waktu yang semakin lama tiap harinya, biasanya
digunakan untuk pasien yang mengalami intoleransi ortostatik. Jika pingsan
berkaitan dengan deplesi volume intravaskular, pemberian garam dan
cairandapat dilakukan untuk mencegah pingsan.
d.
Sinkop vasovagal yang persisten dapat ditangani dengan
terapi obat terutama jika sering terjadi maupun berkaitan dengan resiko
tertentu terhadap cedera. Antagonis reseptor β-adrenergik seperti
metoprotol (25-50 mg), atenolol (25-50 mg) atau nadolol (10-20 mg) merupakan
obat yang sering digunakan. Obat-obatan tersebut dapat mengurangi peningkatan
kontraktilitas miokardial yang menstimulasi mekanoreseptor ventrikel kiri dan
juga mengeblok reseptor serotinin sentral. Serotonin reuptake inhibitorseperti
paroxetine (20-40mg), sertraline (25-50 mg) juga bisa digunakan. Kedua obat ini
sering digunakan sebagai obat lini pertama terutama pada pasien muda. Selain
itu, obat antidepresan seperti bupropion SR (150 mg) juga juga
terkadang digunakan.
e.
Pemberian Hidrofludrokortison (0,1-0,2 mg) dapat
memberikan efek retensi natrium, ekspansi volume, dan vasokonstriksi perifer
dengan meningkatkan sensitifitas β-reseptor terhadap katekolamin endogen. Obat
tersebut bisa efektif diberikan pada pasien sinkop dengan deplesi volume
intravaskular serta hipotensi postural. Proamatine (2,5-10 mg), sebuah
α-agonist juga biasa digunakan sebagai agen lini pertama. 2,3
f.
Disopiramid (150 mg), obat antiaritmia vagolitik
dengan inotropik negatif, serta vagolitik lain seperti transdermal scopolamine,
telah digunakan untuk menangani sinkop vasovagal. Begitu juga dengan teofilin
dan efedrin. Selain dengan obat, pasien dengan artimia juga bisa ditatalaksana
dengan pemasangan pacemaker.
g.
Pasien dengan hipotensi ortostatik sebaiknya
diinstuksikan untuk bangun secara perlahan dan sistematis dari ranjang ke
kursi. Pergerakan kaki sebelum bangkit bisa membantu venous
return dari ekstremitas bawah. Jika memungkinkan, pengobatan yang dapat
memperburuk keadaan seperti vasodilator dan diuretik sebaiknya tidak
dilanjutkan.2,4 Elevasi kepala dan penggunaan kompresi stocking juga bisa
membantu. Terapi tambahan yang bisa dilakukan di antaranya adalah pemberian
garam dan obat-obatan seperti simpatomimetik amin, monoamine oksidase inhibitor,
beta blocker, dan levodopa. Sementara itu, pasien dengan hipotensi
postprandial sebaiknya menghindari makan besar serta aktivitas fisik setelah
makan.
h.
Neuralgia glosofaringeal dapat ditangani dengan
carbamazepine, yang dapat menangani pingsan sekaligus nyerinya. Pasien dengan
sindrom sinus karotis sebaiknya menghindari pakaian atau situasi yang dapat
menstimulasi baroreseptor. Jangan menggunakan pakaian yang ketat pada leher
serta menghindari gerakan leher yang berlebihan. 3 Saat menoleh ke
satu sisi, disarankan untuk menggerakan seluruh badan, tidak hanya kepala saja.
Paroxetine merupakan obat yang cukup terbukti memperbaiki gejala sinkop
vasovagal, tetapi tidak disarankan untuk pasien geriatri. 3Sinkop yang
sering terjadi karena respopn kardioinhibitori terhadap stimulasi sinus karotis
sebaiknya ditangani dengan pemasangan pacemaker permanen.
i.
Individu dengan sinkop yang tidak bisa dijelaskan oleh
semua pemeriksaan kemungkinan besar berkaitan dengan kondisi psikiatri. Pasien
dengan sinkop sebaiknya dirawat di rumah sakit jika kejadiannya berkaitan
dengan abnormalitas yang mengancam nyawa atau kambuh dengan kemungkinan cedera
yang signifikan. Pemeriksaan dengan elektrokardiogram juga sebaiknya dilakukan.
Jika kondisi jantung pasien normal atau jelas pingsan karena pengaruh vasovagal
atau sinkop situasional, pasien bisa dipulangkan.
3)
Nutrisi dan suplemen
Mengingat banyak kasus yang berkaitan dengan jantung,
suplemen yang diberikan biasanya berguna untuk meningkatkan kesehatan jantung.
a.
Asam lemak omega-3, seperti minyak ikan, berguna untuk
menurunkan inflamasi serta meningkatkan kesehatan jantung. Penggunaan bersama
warfarin harus diperhatikan karena dapat meningkatkan resiko perdarahan.
b.
Multivitamin harian yang berisi vitamin antioksidan
seperti A, C, E, vitamin B dan mineral (Mg, Ca, asam folat, Zinc, dan
Selenium).
c.
Koenzim Q10, 100-200 mg pada bedtime yang merupakan antioksidan.
d.
Acetyl-L-carnitine, 500 mg perhari (antioksidan)
e.
Alpha-lipoic acid, 25-50 mg dua kali perhari
(antioksidan)
f.
L-arginine (1-2 gram satu atau dua kali perhari).
Tidak disarankan pada pasien dengan infeksi virus seperti herpes.
Zat-zat herbal yang dapat
digunakan di antaranya adalah :
a.
Green tea (camellia sinensis), 250-500 mg perhari,
merupakan antioksidan dan antiinflamasi.
b.
Bilberry (Vaccinium myrtillus). 80 mg dua sampai tiga
kali perhari, merupakan antioksidan yang membantu memperlancar sirkulasi.
c.
Ginkgo (Ginkgo biloba), 40-80 mg tiga kali perhari,
merupakan antioksidan.
Penatalaksanaan pasien dengan
sinkop sangat tergantung dari diagnosis
yang telah dibuat,
seperti pasien dengan
sinkop yang disebabkan oleh blok
atrioventrikular atau sick sinus syndrome
harus dilakukan pemasangan pacu
jantung menetap, tatalaksana
pasien dengan sindrom Wolf-Parkinson-White membutuhkan
ablasi kateter, sedangkan pasien
dengan takikardia ventrikel
kemungkinan harus dilakukan
implantasi defibrillator. Berikut ini adalah penatalaksanaan sinkop secara
khusus sesuai dengan penyebabnya :
1) Sinkop
neurokardiogenik
Pada pasien sinkop berulang
atau sinkop yang berhubungan dengan cedera fisik atau stress pada pasien.
Pendekatan non farmakologik adalah pilihan pertama seperti edukasi dan
pencegahan terhadap faktor resiko terjadi ny sinkop berulang Pendekatan farmakologik
nya adalah diberikan
beta blocker, alfa
agonist, paroxetine dan enalapril
2) Sinkop
vasovagal
Terapi farmakologik yang
direkomendasikan adalah disopiramid, antikolinergik, teofilin dan clonidine.
3) Pacu
jantung
Secara teoritis memiliki
manfaat pada pasien yang di dominasi dengan kelainan pada kardioinhibisi
dibandingkan respon vasodepresan.
4) Sinkop
aritmia
Belum banyak data yang
mengevaluasi efek antiaritmia namun hingga saat ini
dipertimbangkan pemasangan defribilator intrakardiak pada pasien yang
mengalami sinkop namun harus disesuaikan dengan criteria pasien yang pernah menglami infark miokard, ejeksi fraksi nya < 35%. Sedangkan pada pasien yg mengalami bradiaritmia perlu dipasangkan pacu jantung
dipertimbangkan pemasangan defribilator intrakardiak pada pasien yang
mengalami sinkop namun harus disesuaikan dengan criteria pasien yang pernah menglami infark miokard, ejeksi fraksi nya < 35%. Sedangkan pada pasien yg mengalami bradiaritmia perlu dipasangkan pacu jantung
Belum banyak data
yang mengevaluasi efek antiaritmia baik
farmakologis ataupun pemasangan alat pada pasien dengan episode
sinkop akibat aritmia. Saat ini telah dipertimbangan untuk pemasangan
defibrilator intrakardiak pada pasien yang mengalami sinkop dan
membutuhkannya sesuai rekomendasi dari American College Cardiology
(ACC) / American Heart Association (AHA) yaitu pasien dengan riwayat
infark miokard dengan ejection fraction, 35% atau sama terdapat dokumentasi yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular yang tidak menetap dan takikardia ventrikular yang diinduksi pada studi elektrofisiologi atau kejadian takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau simptomatik.
farmakologis ataupun pemasangan alat pada pasien dengan episode
sinkop akibat aritmia. Saat ini telah dipertimbangan untuk pemasangan
defibrilator intrakardiak pada pasien yang mengalami sinkop dan
membutuhkannya sesuai rekomendasi dari American College Cardiology
(ACC) / American Heart Association (AHA) yaitu pasien dengan riwayat
infark miokard dengan ejection fraction, 35% atau sama terdapat dokumentasi yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular yang tidak menetap dan takikardia ventrikular yang diinduksi pada studi elektrofisiologi atau kejadian takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau simptomatik.
Penatalaksanaan pasien
dengan Torsades de
Pointes adalah dengan pemberian
magnesium sulfat, pemasangan
pacu jantung sementara (pada
keadaan bradikardia) dan obat penyekat beta.
Sedangkan penatalaksanaan Sick
Sinus Syndrome tergantung pada irama dasarnya. Umumnya
diperlukan pemasangan pacu jantung permanen.
Pada keadaan bradikardia
diperlukan kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen.
Secara umum penatalaksanaan pasien sinkop kardiak
terdiri dari tiga cara yaitu terapi farmakologi, pemasangan pacu jantung dan
terapi bedah. Untuk pasien dengan kardiomiopati hipertropi dapat berespon
dengan terapi farmakologi dengan menggunakan beta bloker, calcium channel
blocker dan obat antiaritmia lainnya, sedangkan untuk pasien kelainan irama
jantung diperlukan pemasangan
alat pacu jantung. Untuk pasien yang penyebab sinkop
kardiaknya disebabkan kelainan struktur
jantung seperti Stenosis
Aorta, terapi bedah
mungkin diperlukan.
Penatalaksanaan pasien sinkop karena kelainan irama.
Klas I :
Pasien
yang menderita sinkop
karena aritmia jantung
dan kondisi yang mengancam
kehidupan atau trauma
dengan resiko tinggi harus
mendapat terapi yang cepat.
Klas II :
ü
Pengobatan
dilakukan bila culprit
arrhytmia tidak ada
dan aritmia
yang mengancam kehidupan
diperkirakan dari data pengganti.
ü Pengobatan dilakukan
bila ada culprit
arrhytmia tapi tidak mengancam kehidupan atau ada resiko
tinggi.
Indikasi perawatan
rumah sakit pasien dengan sinkop :
ü Mempunyai riwayat
penyakit arteri koroner,
gagal jantung kogestif atau
aritmia ventrikular.
ü Disertai gejala nyeri
dada.
ü Pada pemeriksaan
fisik terdapat kelainan
katup yang bermakna, gagal
jantung kongestif, strok
atau gangguan neurologik fokal.
ü Pada pemeriksaan EKG
ditemukan gambaran iskemia, aritmia, interval QT memanjang atau blok berkas
cabang.
ü Kehilangan kesadaran
tiba-tiba disertai terjadinya
cedera, denyut jantung yang cepat
atau sinkop yang
berhubungan dengan aktivitas.
ü Frekuensi kejadian
meningkat, kemungkinan penyakit jantung koroner atau terdapat aritmia (misalnya
pada pemakaian obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya torsade de
pointes)
ü Hipotensi ortostatik
sedang-berat
ü Usia diatas 70 tahun.
5) Sinkop
metabolisme
Segera koreksi
kelainan metabolisme pada
pasien tersebut seperti
sinkop hipoglikemi maka harus segera berikan cairan gula untuk
mengoreksi hipoglikemi pada pasien tersebut serta hentikan penggunaan obat
peningkat insulin. Selain itu seperti
sinkop hipoksia juga
harus segera di koreksi hipoksianya dengan menggunakan
oksigen atau air mask segera mungkin.
2.9 Prognosis Sinkop
Cardiac
syncope memiliki prognosis
yang paling buruk
dibanding jenis syncope lainnya. Pasien dengan cardiac syncope umumnya
memiliki keterbatasan yang signifikan dalam kegiatan sehari-hari
dan kejadian syncope dapat menandakan perkembangan
dari penyakit yang mendasari syncope. Angka kematian pada tahun pertama untuk cardiac syncope diperkirakan mencapai 18-33%. Ada 4 faktor
resiko sebagai prediktor yang signifkan dari angka
kejadian kematian mendadak dalam satu tahun pasca
terjadinya syncope : hasil EKG abnormal, usia diatas 45 tahun, riwayat ventricular dysrhythmia, dan riwayat penyakit jantung kongestif. Pasien
muda dengan hasil pemeriksaan fisik yang normal dan hasil
EKG yang normal umumnya memiliki resiko
morbiditas yang rendah.
Noncardiac
syncope seperti akibat
vasovagal dan orthostatic
memiliki prognosis
yang baik. Kejadian
vasovagal syncope tidak
meningkatkan angka kematian dan jarang menimbulkan rekurensi. Orthostatic syncope juga
meningkatkan resiko kematian namun rekurensi dapat meningkatkan
angka morbiditas dan luka sekunder.
Selain itu, pasien syncope dengan defisit neurologis juga meningkatkan resiko morbiditas.
2.10
Pencegahan
Sinkop
Pencegahan tergantung pada mekanisme yang
terlibat. Pada keadaan sinkop vasovagal yang
biasanya ditemukan diantara para remaja dan cenderung terjadi pada saat mengalami guncangab emosional, keletihan, perasaan lapar, dll.
Tindakan yang menganjurkan pasien untuk menghindari semua keadaan
ini sudah memadai. Pada pasien hipotensi postural, pasien harus
diingatkan agar tidak bangkit secara mendadak dari tempat tidur.
Sebaiknya pasien tidur dengan ranjang yang ditinggikan sampai 8 hingga 12 inci bagian kepala oleh ganjal kayu dan
mengenakan sabuk perut elastic serta
stocking elastis. Obat golongan dari efedrin dapat bermanfaat jika pemakaiannya
tidak menimbulkan insomnia.
Pada sindroma hipotensi
postural yang kronis, preparat mineralkortikoid yang khusus (tablet
fludrohidrokortison asetat 0,1
hingga 0,2 mg/hari
dalam dosis terbagi).
Penanganan
sinkop sinus karotikus meliputi pasien harus memakai pakaian kerah baju yang longgar dan belajar berpaling dengan
memutar seluruh badan serta bukan dengan memutar
kepala saja. Obat golongan atropine dan efedrin harus digunakan masing-masing pada pasien bradikardia,
pemasangan pacemaker dapat dilakukan pada
ventrikel kanan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Insiden sinkop
kardiak lebih kecil dari sinkop vasovagal, tapi angka kematiannya lebih tinggi
dari sinkop kardiak.
2) Penyebab
sinkop kardiak dapat dibagi dua yaitu kelainan irama jantung dan kelainan
struktur jantung.
3) Diagnosis
sinkop kardiak memang agak sulit karena belum ada pemeriksaan yang merupakan
gold standar.
4) Penatalaksanaan pasien
dengan sinkop kardiak
terdiri dari terapi farmakologi,
pemasangan alat pacu jantung dan terapi bedah.
3.2 Saran
Diperlukan diagnosis
yang tepat tentang penyebab sinkop kardiak agar penatalaksanaan lebih optimal,
sehingga angka kematian dapat diturunkan.
Saya tertarik dengan makalah anda, karena anak kami juga mengalami hal-hal tsb diatas.
BalasHapusMohon informasinya, kira-kira masuk kategori sinkop yang mana yang terjadi pada anak kami :
Menurut pengalaman kami, penyebab sinkop pada anak kami antara lain :
1. Stress (biasanya terjadi saat/sesudah ujian disekolah, ruang pengap/berisik/riuh)
2. karena emosional (pemarah)
adapun ciri-ciri saat serangan sinkop, antara lain :
1. Pusing, mual sampai muntah, keringat dingin, pucat
2. Kesemutan
Biasanya setelah serangan anak kami akan tertidur, dan setelah terbangun dia akan normal kembali.
Usaha yang telah kami lakukan adalah dengan membawanya ke dokter anak dan melakukan pemeriksaan EEG, tetapi dokter tidak memberinya obat hanya menyarankan dikonsul ke dokter syaraf anak, tetapi belum kami lakukan.
Untuk itu kami mohon informasinya, kira-kira termasuk sinkop kategori yang mana ya ? juga obat apa yang disarankan diberikan kepadanya saat terjadi serangan.
Sebelumnya terima kasih atas informasi yang diberikan.
maaf sebelumnya, baru memberikan balasan,
BalasHapusdan terimakasih atas apresiasinya...
dari gejala yang uncul pada putra bapak, ada kemungkinan putra bapak terkena sinkop jenis vasodepresor, memang gejala adri sinkop itu sendiri tidak khas bila dibandingkan dengan penyakit lain, dan ada baiknya utnuk memastikan apa itu benar-benar Sinkop seperti yang bapak katakan sebelumnya, mungkin saran saya putra bapak perlu pemeriksaan radiologi di Spesialis Syaraf dan Spesialis Jantunng..