Pages

Rabu, 18 September 2013

SA'ID HAWWA

SA’ID HAWWA

Biografi Sa’id Hawwa
Sa'id Hawwa (lahir pada tanggal 27 September 1935 M di kota Hamaah, Suriah), dari pasangan Muhammad Diib Hawwa dan Arabiyyah Althaisy. Di usia dua tahun ibunya meninggal. Ayahnya lalu menikah lagi. Di masa kecil, keluarega Sa'id hidup dalam keadaan sederhana. Itu sebabnya, karena tak mampu membiayai anaknya. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa mengeluarkannya dari sekolah. Waktu itu usia Sa'id baru 8 tahun, dan ia akhirnya membantu ayahnya berjualan di pasar. 
Beberapa tahun setelah putus sekolah dan membantu ayahnya di pasar, Sa'id dimasukkan sekolah malam untuk melanjutkan pendidikannya dengan harapan bisa mendapat ijazah SD. Sekolah malam dipilih agar tidak mengganggu Sa'id yang harus membantu ayahnya di pasar. Di sekolah ini, Sa'id adalah satu-satunya bocah, sebab teman-teman yang lain semuanya merupakan orang-orang tua. Begitulah…akhirnya Sa'id berhasil mendapat ijazah. 
Menurut Sa'id, ayahnya tergolong orang yang pandai sekali menanamkan nilai-nilai yang ingin diajarkannya kepada putra putrinya. Di antara nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil adalah bahwa kehormatan itu di atas segala-galanya dan penampilan tidaklah penting. Yang penting adalah hati. 

Setelah tamat SD, Sa'id menempuh jenjang pendidikan tingkat pertama di SMP Ibnu Rusyd, tapi kemudian dia pindah ke SMP Abul Fidaa'. Di sini dia hanya belajar selama setahun, sebab dia pindah lagi ke SMP Ibnu Rusyd hingga tamat. Ketika duduk di SMP, Sa'id masih melanjutkan membantu orang tuanya berjualan di pasar sayur. Masa-masa menempuh pendidikan tingkat SMP adalah masa-masa yang penuh dengan bacaan. Telah banyak buku karangan para cendekiawan dunia yang dilahabnya. 

Buku tebal karya Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul al-Akhlaq ila Niquumaakhaas telah dibaca dan dirangkumnya. Dia pun telah membaca buku karya Plato serta Nietzsche, membaca sejarah Revolusi Prancis dan biografi Napoleon Bonaparte. Buku-buku tasawuf dan akhlak juga tak luput dari perhatiannya. Tentu saja karena ekonomi keluarga yang pas-pasan, tidak semua buku tersebut dibeli dan lalu dibaca di rumah. Sa'id biasanya membaca di perpustakaan. 

Di kotanya, tepatnya di Masjid al-Madfan, terdapat sebuah perpustakaan umum yang cukup besar. Ke sanalah Sa'id menyalurkan hobi membaca. Pemandangan seorang bocah kecil berjubah hitam yang setiap hari duduk di perpustakaan memang tampak aneh, apalagi kalau melihat buku-buku yang dibacanya. Di antara buku yang paling disukainya adalah buku al-Ihyaa, karya al-Ghazali. Membaca buku ini mempengaruhi kehidupan Sa'id, mendorongnya untuk hidup sangat sederhana. Akan tetapi, faktor yang paling membuatnya rajin menjalankan ajaran agama adalah karena Syekh Muhammad al-Haamid memegang mata pelajaran pendidikan agama di sekolahnya. 
Berawal dari kecintaan kepada mata pelajaran ini, akhirnya Sa'id sering mendatangi ceramah yang disampaikan gurunya itu di Masjid as-Sulthaan. Berguru kepada Syekh Muhammad al-Haamid banyak memberi warna kepada pandangan hidup Sa'id.
Kelebihan paling menonjol yang dimiliki oleh Sa'id pada jenjang ini adalah ketrampilannya menulis. Pada masa itu, pengaruh parpol masuk ke sekolah-sekolah. Saat itu, yang dirasakan oleh siswa ada tiga partai yang saling memperebutkan pengaruh, yaitu: Partai Komunis, Partai Nasionalis Suriah, dan Partai Sosialis Arab. Di SMP Ibnu Rusyd, yang paling berpengaruh adalah partai Sosialis. Pada masa itulah Sa'id pertama kali mendengar tentang gerakan Ikhwanul Muslimin. 
Setelah lulus SMP, Sa'id melanjutkan studinya ke tingkat SMU. Di samping masih membantu ayahnya berjualan, Sa'id juga membantu menggarap kebun kapas yang menjadi profesi baru ayahnya. Pada saat itu harga kapas di Suriah naik sehingga merangsang banyak orang untuk menanam kapas. Pada akhir tahun ajaran kelas satu, Sa'id bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, dan membawa perubahan besar dalam kehidupannya. Masuk ke dalam gerakan yang berpusat di Mesir ini memberi arahan baru bagi Sa'id, membuatnya menemukan dan menyadari dirinya sebagai satu individu dari sebuah jamaah. 

Semenjak menjadi anggota gerakan, mencuatlah bakat yang selama ini terpendam dalam diri Sa'id: berceramah. Dia sering menyampaikan khotbah di masjid-masjid, baik di kota maupun di desa. Ia juga sering menyampaikan orasi setiap ada demonstrasi. Sekalipun masih duduk di jenjang SMU, ia telah memegang peran penting dalam tiga demonstrasi besar-besaran di Suriah kala itu: (1) demonstrasi mendukung seruan Ikhwanul Muslimin untuk memasukkan pelajaran kewiraan (semacam kepramukaan) dalam kurikulum sekolah, seruan ini terpenuhi, (2) demonstrasi mengecam hukum mati atas anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan (3) demonstrasi menentang perjanjian Belfour. Dalam demo-demo ini, Sa'idlah yang ditunjuk menjadi pembicara resmi mewakili Ikhwan. 
Dalam waktu yang tidak lama, Sa'id telah berhasil menyebarkan fikrah gerakan Ikhwan di distrik al-‘Ailiyaat, tempat kelahirannya. Distrik ini merupakan basis kaum sosialis yang kuat dan sulit ditembus oleh partai-partai lain. Para aktivis sosialis menjadi heran ketika Ikhwanul Muslimin berhasil masuk ke sana. Lebih heran lagi gerakan itu masuk lewat tangan Sa'id Hawwa yang dianggap oleh orang-orang sosialis sebagai bagian dari mereka. Tentu saja para aktivis sosialis menajdi marah. Mereka berusaha menekan Sa'id untuk menghentikan gerakannya, tapi dia tak bergeming. 
Bakat menulis Sa'id tidak menurun, malah boleh dikata semakin matang. Menurutnya, pada saat itu dia sudah mampu menulis untaian puisi dengan baik. Saat ujian akhir, dalam mata ujian mengarang, dia menulis karangan yang begitu panjang sehingga menarik perhatian para pengawas. Sa'id menyelesaikan pendidikan tingkat SMU dengan nilai biasa saja. Hal itu disebabkan oleh aktivitasnya dalam gerakan yang ditekuninya, bacaan pribadi yang luas, serta kesibukan membantu orang tua berdagang dan bercocok tanam. 

Selesai SMU, Sa'id bermaksud mendaftar menjadi tentara. Tapi dia kemudian mengundurkan diri ketika tes karena tidak cocok dengan cara-cara yang diterapkan dalam ujian. Hal ini cukup dimaklumi, karena militer saat itu dikuasai oleh Partai Sosialis yang sengaja menyingkirkan dan tidak menerima orang-orang agamis, atau keturunan orang-orang agamis, serta orang-orang kaya. Dia lalu mendaftar di Fakultas Syariah di Damaskus, tahun 1956. Di fakultas yang baru berusia setahun ini, Sa'id sangat terkesan dengan kuliah-kuliah luar biasa yang disampaikan oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy, yang kala itu menjadi ketua umum Ikhwanul Muslimin di Suriah. Begitu hebatnya ceramah Mustfhafa hingga Sa'id menuturkan, "Seakan-akan saya terhipnotis mendengarkan ceramah-ceramahnya." 
Selain aktif di Ikhwan, Said juga mendekati kalangan tasawuf. Pertama-tama beliau mengunjungi Syekh Muhammad al-Hasyimi. Syekh (ketua) tariqah ad-Darqaawiyyah di Damaskus ini sangat menguasai masalah-masalah akidah, berilmu luas, dan berbudi pekerti tinggi. Di samping Syekh Muhammad al-Hamid, Syekh Muhammad al-Hasyimi juga menjadi idola dan teladan Sa'id. Setelah bertemu dan belajar dari Syekh Muhammad al-Hasyimi, Sa'id berguru kepada Syekh Ibrahim al-Ghalayiini, pemimpin thariqat an-Naqsyabandiyyah, dan mengikuti halaqah zikir thariqat ini. Namun kemudian dia tidak meneruskannya karena guru baru ini menyuruhnya 'uzlah, suatu pandangan yang bertolak belakang dengan pemikirannya. 
Mengajar dan masuk dinas militer
Begitu lulus universitas pada tahun 1961, Sa'id mendaftar menjadi guru. Sebetulnya dia sendiri tidak berambisi untuk menjadi pegawai negeri, akan tetapi demi memenuhi permintaan orang tua, Sa'id tetap mendaftar. Dia lulus dalam seleksi dan ditugaskan di Provinsi al-Haskah. Tugasnya adalah mengajar di sekolah, menyampaikan khotbah Jumat, serta memberi ceramah-ceramah ilmiah di masjid. Tidak lama Sa'id bertugas di provinsi ini, sebab dia telah meminta untuk ditugaskan di kotanya sendiri, Hamaah. 

Permintaannya terpenuhi dan dia ditugaskan mengajar mata pelajaran Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) di distrik as-Silmiyyah. Mengajar mata pelajaran ini di sekolah-sekolah di as-Silmiyyah situasinya agak berbeda. Alasannya, secara historis as-Silmiyyah merupakan 'ibu kota' aliran Syi'ah Isma'iliyyah. Selain itu, kelompok-kelompok minoritas selalu menginginkan sistem pemerintahan yang sekular. Dan partai-partai sekular pun (seperti Partai al-Ba'th, Partai Nasional Sosialis Suriah, dan Partai Komunis) memanfaatkan kaum minoritas ini. Karena itu, berani memegang mata pelajaran agama di as-Silmiyyah berarti berani menghadapi dan menentang arus pemikiran dan politik yang menolak agama. 

Tapi bagaimanapun juga, pembicaraan yang logis dan argumen yang kuat telah melunakkan konfrontasi pemikiran itu, bahkan berhasil menarik banyak orang untuk semakin dekat ke agama. 

Pada tanggal 5 Januari 1963 Sa'id masuk dinas wajib militer. Dia menjalani dinas ini selama satu tahun empat bulan. 
Ke luar negeri
Pada tahun 1966, karena situasi politik dalam negeri yang semakin panas dan Sa'id beserta tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin terancam pembunuhan, Sa'id – bersama istri – akhirnya pergi ke Kerajaan Saudi; Muhammad dan Ahmad yang masih kecil dititipkan kepada kakek dan nenek mereka. Di negara ini Sa'id mengajar selama lima tahun; dua tahun pertama di al-Hufuuf, dan sisanya di Madinah. Ia mengajar di sekolah-sekolah modern tingkat SMP dan SMU, memegang mata pelajaran bahasa Arab, hadits, dan ushul fiqih. Ia juga memberi ceramah-ceramah yang makin hari makin diminati dan banyak penggemarnya, karena disampaikan secara menggugah oleh seorang yang hidupnya sederhana. 

Selama lima tahun di Kerajaan Saudi ini Sa'id Hawwa telah menyelesaikan buku silsilah al-Ushul ats-Tsalaatsah, dan mengirimnya ke percetakan. Buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan (sekitar tahun 1971) serta sebagian pasal dari buku Jundullah Takhthiithan wa Tanzhiiman wa Tanfiidzan, juga sudah selesai. Beberapa pasal tentang takhthiit dan tanzhiim masih belum dicetak; Sa'id hanya mengajarkannya kepada sejumlah rekannya dan menyerahkannya kepada salah seorang Ikhwan di luar negeri. 

Dalam buku Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan, Sa'id menyebutkan bahwa tsaqafah seorang muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da’i yang ulung seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas menjadi sepuluh: ilmu Al-Qur`an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu akidah, ilmu fiqih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allah, rasul, dan Islam), dan ilmu fiqih dakwah. 
Tentang tiga pokok (Ushul Tsalaatsah) Sa'id menulis tiga buku: Allah Jalla Jalaaluhu, ar-Rasuul, dan al-Islam. Sedangkan dalam fiqih dakwah ia menyelesaikan sejumlah buku. Buku lain yang beliau selesaikan selama lima tahun di Kerajaan Saudi adalah: al-Asaas fit-Tafsiir (berdasarkan ide tentang kesatuan hubungan ayat-ayat Al-Qur'an; ide ini sendiri menurut Sa'id telah muncul sejak beliau duduk di SMU), al-Asaas fis-Sunnah, al-Asaas fi Qawaa'idil Ma'rifah (tentang ushul fiqih dan mantik), tiga buku tentang akhlak, serta sebuah buku tentang akidah dan fiqih. Lima tahun di Saudi ini benar-benar dijalani Sa'id dengan sangat produktif, khususnya dalam bidang mengarang buku. \
Kembali ke Suriah
Tahun 1972 Sa'id kembali ke Suriah dan mengajar di al-Ma’arrah. Meskipun kota al-Ma’arrah ini terhitung basis pemikiran kiri, para siswa menunjukkan respon yang baik terhadap pemikiran Islam sehingga mengagetkan banyak pihak. Sa'id sendiri berusaha tampil sebagai seorang yang berpikiran Islami murni, berusaha tidak menampakkan hubungannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. 

Pada tahun 1973 Sa'id ditangkap dan dipenjarakan karena terlibat dalam kerusuhan menentang konstitusi. Semenjak Suriah meraih kemerdekaan, para aktivis Islam menuntut agar konstitusi negara adalah konstitusi Islam, atau konstitusi yang mengakui bahwa agama resmi negara adalah agama Islam. Pergulatan paling keras dalam hal ini adalah yang pernah dilakukan oleh Dr. Mushthafa as-Sibaa'iy tidak lama setelah Suriah merdeka, sekalipun usahanya hanya berhasil mencantumkan ketetapan bahwa agama kepala negara adalah Islam, Islam menjadi salah satu sumber hukum, dan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan generasi yang beriman kepada Allah SWT. 
Selanjutnya Suriah menyaksikan beberapa kali kudeta dan pergantian kekuasaan, tapi konstitusi tidak dirubah. Tapi, ketika Hafez al-Asad berhasil memegang kekuasaan, dia ingin membuat konstitusi baru untuk Suriah. Dia ingin menjadikan pembuatan konstitusi ini sebagai salah satu prestasinya. Namun konstitusi baru itu dinilai sekular oleh kalangan Islam, sehingga mereka mengadakan koordinasi di antara para ulama seluruh Suriah bersama seluruh rakyat untuk menolak konstitusi baru ini. 
Kalangan politik yang dirugikan oleh Hafez al-Asad, di antaranya kaum sosialis dan pengikut Jamal Abdunnasir, mendukung gerakan ini. Mereka menyerukan pemogokan di seluruh Suriah. Akibat kerusuhan ini, banyak orang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, salah satunya adalah Sa'id Hawwa yang dipenjara pada tanggal 5 Maret 1973 dan baru dikeluarkan pada akhir Januari 1978. 

Tak lama setelah keluar dari penjara, Sa'id melakukan perjalanan ke beberapa negara Arab. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan naskah buku Min Ajli Khuthwah ilal Amaam 'ala Thariiqil-Jihaad al-Mubaarak untuk diterbitkan. Rencana lawatan adalah selama dua setengah bulan. Di awali dari Aman, Yordania, lalu melanjutkan kunjungan ke negara-negara Arab lainnya, seperti Saudi, Emirat, dan Qatar. Rencana ke Kuwait dibatalkan. 
Di negara-negara yang dikunjungi ini ia menyampaikan ceramah dan pertemuan-pertemuan dengan para aktivis Islam setempat. Rencana kembali ke tanah airnya gagal setelah buku Min Ajli Khuthwah ilal Amaam yang ditulisnya, membuat marah para aktivis politik di luar Islam. Karena itu, baik teman-temannya maupun orangtuanya, meminta Sa'id untuk tidak pulang dulu ke Suriah. 

Di Amman Sa'id menyusun beberapa buku lagi. Di antaranya Tarbiyatuna ar-Ruuhiyyah, dan al-Madkhal ilaa Da'watil-Ikhwaan al-Muslimin. Di sini pula ia menyempurnakan penulisan buku tafsir yang telah ditulisnya selama berada di penjara.
Setelah bergulat dengan penyakit selama beberapa tahun, akhirnya beliau meninggal di Amman, 9 Maret 1989, dengan meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Pada tanggal 15 Maret 1989, Ustadz Zuhair asy-Syaawiisy menulis tentang beliau di surat kabar al-Liwaa' yang terbit di Yordania: "Allah SWT telah menakdirkan Sa'id bin Muhammad Diib Hawwa meninggal di Rumah Sakit Islam di Amman, pagi hari Kamis tanggal 9/3/1989. Beliau dimakamkan di pemakaman Sahaab, Amman bagian selatan…. Sa'id Hawwa tergolong da'i paling sukses yang saya kenal. Ia berhasil menyampaikan ide dan pengetahuan yang dimilikinya kepada masyarakat luas. Meninggal dalam usia yang pendek, yakni hanya lima puluh tiga tahun, tapi telah meninggalkan karya tulis yang banyak ..., Saya pernah mengunjunginya di al-Ahsaa' saat beliau menjadi pengajar di sebuah institut di sana. Di rumahnya saya hanya melihat perabot yang sederhana. Pakaiannya pun tidak cocok bagi seorang ulama dan guru sekelas dia yang tinggal di negeri yang amat panas tersebut ....".
Cuplikan Pemikiran Sa’id Hawwa
Sa’id Hawwa adalah sosok ulama yang cukup vokal dalam menyuarakan kebenaran (al-Islam). Ulama yang hidup di Mesir ini telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan keislaman yang sangat berkualitas dan dibutuhkan ummat. Pemikiran-pemikirannya senantiasa merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak lepas dari kontroversi dan kritikan (protes) dari mereka yang merasa berat untuk melaksanakan Islam secara total (kaffah) sebagaimana yang selalu ’diteriakkan’ oleh beliau.
Dalam bukunya yang berjudul “Min Ajli Khuthwatin ila al-Amam’ala Thariqi al-Jihad al-Mubarak”, Sa’id Hawwa mengungkapkan ketentuan-ketentuan dalam Islam yang bersifat badihi (prinsipil), yaitu merupakan ketentuan yang sudah jelas nash-nya dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Dan semua ummat Islam wajib menerima ketentuan atau konsepsi dalam Islam yang bersifat badihi tersebut. Menurut Sa’id Hawwa, ada sepuluh ketentuan yang bersifat badihi (prinsipil). Berikut ini ke-sepuluh prinsip tersebut yang diringkas dari buku “10 Aksioma tentang Islam” - terjemahan dari buku “Min Ajli Khuthwatin ila al-Amam’ala Thariqi al-Jihad al-Mubarak”.
Prinsip Pertama
Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang dibebankan pada seluruh ummat manusia, di barat atau di timur, di utara atau di selatan, berkulit kuning, merah, putih atau hitam. Allah swt telah mengumumkan bahwa Dia tidak akan menerima sistem hidup (ad-Dien) selain Islam dengan firman-Nya:
”Sesungguhnya dien (sistem hidup) yang diridhai di sisi Allah ialah Islam.”(Qs.Ali Imran:19)
“Barangsiapa yang mencari dien (sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (dien itu) darinya.” (Qs.Ali Imran:85)
Yang dimaksud dengan Islam adalah risalah yang diturunkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw. Risalah ini merupakan penutup seluruh risalah Allah swt, dan demikian risalah atau agama yang diturunkan Allah sebelumnya melalui para Nabi-Nya yang terdahulu tidak berlaku lagi. Karena itu seluruh manusia diwajibkan untuk memeluk Islam sampai Hari Kiamat. Barangsiapa yang tidak mengimani Islam, sedangkan seruan Islam telah sampai kepadanya, maka ia dianggap sebagai ahli neraka.
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak mendengar seseorang tentangku dari ummat ini, apakah ia Yahudi atau Nasrani, kemudian ia tidak beriman dengan apa yang diutus kepadaku melainkan ia akan tergolong dari ahli neraka.” (HR.Muslim)
Prinsip Kedua
Islam adalah satu-satunya jawaban yang benar dan bersih terhadap semua persoalan manusia. Ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi keyakinan, ibadat, syari’at dan syi’ar-syi’ar. Islam merupakan neraca dan satu-satunya tolok ukur untuk semua sisi kehidupan manusia. Dari Islamlah terefleksinya petunjuk yang benar dan lurus serta selamat dalam segala hal.
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Qs.an-Nahl:89)

Al-Qur’an menerangkan segala persoalan, apakah melalui nash-nashnya atau melalui kesimpulan-kesimpulan yang tepat tentang nash-nash tersebut berdasarkan hadits, qiyas, ijma’ ulama, istihsan, istishab, istislah, ’urf, hukum-hukum yang diakui oleh akal, syara’ atau hukum adat menurut batas-batas yang dibenarkan oleh nash tersebut.
Prinsip Ketiga
Bila seseorang masuk Islam, berarti ia telah menyerah secara mutlak kepada Allah swt dalam semua persoalan yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk yang berhubungan dengan jiwa, akal, hati, ruh, perasaan, emosi, perbuatan, pemikiran, kepercayaan dan peribadatan. Termasuk dalam hal konstitusi dan undang-undang kehakiman. Di samping itu Islam berarti penolakan total terhadap seluruh bentuk penyekutuan dengan selain Allah. Allah swt berfirman: “….Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus….” (Qs.al-Baqarah:256)
Prinsip Keempat
Dalam Islam pemikiran eksperimental merupakan salah satu fenomena proses pembentukan pribadi Muslim atau karakteristik Islam. Oleh karena itu segala sesuatu yang telah dicapai oleh akal yang sehat dan melalui proses percobaan adalah sesuatu yang dapat diterima dari sudut pandangan Islam dan diberi jaminan kepercayaan terhadap kesahannya. Rasulullah pernah bersabda: “Hikmah (ilmu pengetahuan) itu merupakan hak orang Mu’min. Maka di mana saja ia jumpai, ia lebih berhak terhadapnya.”
Namun jika pemikiran-pemikiran eksperimental itu sudah tidak murni lagi, telah diwarnai oleh sistem hidup yang tidak Islami, maka kita berkewajiban untuk membersihkannya terlebih dahulu, dan mewarnainya dengan nilai-nilai Islam yang bersih, sebelum kita menggunakannya.
Prinsip Kelima
Islam adalah satu sistem yang sempurna dan lengkap, karena ia mencakup seluruh sistem politik, sosial, ekonomi dan moral. Oleh karena itu mengabaikan atau melupakan sebagian dari sistem Islam berarti menghalangi perjalanan seluruh sistem itu sendiri. Begitu juga menegakkan politik yang tidak berdasarkan pada pilar-pilar Islam merupakan satu kendala dan sekaligus tantangan terhadap Islam.

Seluruh sektor kehidupan kaum Muslimin harus selalu berlandaskan pada nilai-nilai dan syari’at Islam, ekonominya, politiknya, sosialnya, pendidikannya, militernya dan sektor-sektor lainnya. Tidak dibenarkan melaksanakan Islam secara parsial (tentunya selama kondisi dan kemampuan memungkinkannya).
“Apakah patut kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi yang berbuat demikian dari kamu, kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksa yang amat berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu perbuat.” (Qs.al-Baqarah:85)
“Barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs.al-Maidah:44)
Prinsip Keenam
Seluruh kaum Muslimin dibebani kewajiban menegakkan kalimatullah agar Islam menjadi satu-satunya Dien yang tegak di bumi ini. Allah berfirman: “Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah dan kalimatullah itulah yang tinggi.” (Qs.at-Taubah:40)
“Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimatullah yang tertinggi sekali, maka ia berjuang di jalan Allah.” (al-Hadits)
Salah satu tujuan Allah mengutus Rasul-Nya adalah agar Islam sebagai dienullah menang terhadap dien-dien (sistem hidup) lainnya. Karena itu semua pengikut Muhammad berkewajiban untuk mewujudkan kemenangan Islam dengan berjihad di jalan-Nya.
“Dia-lah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan dien yang haq, agar dimenangkan-Nya terhadap semua dien. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (Qs.al-Fath:28)*
“Orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Qs.at-Taubah:20)*
Prinsip Ketujuh
Kaum Muslimin dalam satu negara, bahkan di seluruh dunia harus merupakan satu sekutu, satu blok dan satu jama’ah. Sekutu ini adalah sekutu iman dan politik. Apa pun bentuknya yang memisahkan dan mengesampingkan hal ini adalah satu kekufuran dan kesesatan yang amat besar. Sekutu dan blok tersebut harus mempunyai imam tersendiri.
Kepemimpinan dan persatuan bagi ummat Islam sangat penting sekali. Para sahabat Rasulullah saw telah mendahulukan pemilihan khalifah ketimbang mengubur jenazah Rasulullah saw. Dalam satu kesempatan Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh bagi tiga orang berada di manapun di bumi ini, kecuali memilih salah satu seorang di antara mereka itu sebagai pemimpin.”(Musnad Imam Ahmad, jilid II, hal.177)
Mu’min dengan mu’min lainnya itu ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang sakit, maka anggota tubuh lainnya ikut merasa sakit. Demikian Rasulullah pernah mengingatkan ummatnya.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa imamah, tidak ada imamah tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan tanpa bai’at. Barangsiapa yang keluar dari jama’ah maka ia telah keluar dari Islam.”*
Prinsip Kedelapan
Dalam kondisi kekuasaan politik Islam dan kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia sedang mengalami kehancuran dan kelumpuhan seperti sekarang, maka merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk cepat-cepat melantik seorang imam yang akan memimpin perjuangan, atau untuk mempersiapkan diri menghadapi peperangan, atau melakukan persiapan yang matang untuk memilih seorang yang akan memimpin mereka. Hal ini merupakan salah satu masalah yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh-musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (Qs.al-Anfaal:60)
Dalam memperjuangkan kebenaran (al-Islam) diperlukan kesungguhan, sumber daya manusia dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, sarana dan prasarana serta pengorganisasian yang rapi. Sayyidina Ali ra pernah mengatakan, “Kejahatan yang terorganisir dapat megalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” Agar perjuangan dapat terorganisir maka diperlukan kepemimpinan, yang manhaj kepemimpinannya berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs.ash-Shaff:4)
Prinsip Kesembilan
Menyertai dan bergabung dengan jama’ah Islam dan imamnya adalah suatu kewajiban besar di dalam Islam. Kewajiban ini secara langsung tidak memberikan peluang untuk mengelakkan diri dari keterlibatannya dengan jama’ah dan imamnya, kecuali dalam kondisi dimana orang-orang Islam tidak mempunyai jama’ah dan imamnya. Maka dalam keadaan seperti itu, seorang Muslim harus memisahkan diri dari perkumpulan sesat dan tetap berpegang kepada yang haq.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta Abu Daud, dari Hudzaifah al-Yamani, diriwayatkan sebagai berikut:
Orang-orang yang bertanya pada Rasulullah saw tentang kebaikan, tetapi saya bertanya tentang kejahatan, sebab saya takut akan terlibat dengannya. Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalam masa Jahiliyah dan diliputi oleh suasana kejahatan, lalu Allah mendatangkan pada kita kebaikan ini, maka apakah sesudah kebaikan itu akan ada kejahatan?” “Ada,” jawab Rasulullah.
“Apakah sesudah kejahatan itu akan ada kebaikan?” Saya bertanya lagi. Rasulullah menjawab, “Yaitu segolongan ummat yang mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu, dan cegahlah.” Saya bertanya lagi, “Kemudian setelah kebaikan tersebut masih adakah kejahatan lagi?” Rasulullah menjawab, “Masih, yaitu para penda’wah yang menyeru manusia ke pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, niscaya mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.” Lalu saya bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang harus saya lakukan jika saya menghadapi keadaan yang demikian itu?” Jawab Rasulullah, “Hendaklah kamu teguh pendirian dengan jama’ah Islamiah dan imamahnya.” “Bagaimana kalau sudah tidak ada lagi jama’ah Islamiah dan imamahnya?” Saya terus bertanya. Rasulullah menjawab, “Tinggalkan golongan-golongan itu semua, walaupun kamu akan menggigit sebatang pohon kayu, sampai kamu mati dalam keadaan demikian.”
Persoalannya sekarang, apakah bumi yang kita diami ini telah kehilangan jama’ah dan imamnya, sedang Rasulullah saw bersabda: “Akan selalu ada di kalangan ummatku, satu golongan yang mendukung kebenaran, golongan yang selalu menentang dan membelakangi mereka tidak akan memberikan kemudharatan apa-apa kepada mereka sehingga Hari Kiamat. ”
Imam Ali ra mengatakan, “Tidak akan sunyi bumi ini dari seorang pemimpin yang berdiri untuk Allah dengan hujjah-hujjahnya.”
Prinsip Kesepuluh
Ummat Islam, sebenarnya merupakan satu jama’ah atau satu partai, dan maju mundurnya jama’ah ini tergantung pada pencapaian ilmu, karakteristik, dan komitmen ummat terhadap Islam. Oleh karena itu segenap kaum Muslimin harus terikat pada rencana atau program yang telah disusun. Dan rencana atau program yang disusun secara spontanitas pun harus tunduk kepada kaidah-kaidah yang ketat, dan tidak boleh membelakangi ke arah tercapainya tujuan.
Karakteristik ummat Islam dan jama’ahnya adalah sesuai dengan ayat 36-43 surat Asy-Syura. Karakteristik ummat Islam ialah beriman, bertawakkal, menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil maupun besar dan perbuatan keji, mengontrol diri dari marah, menyambut seruan Allah dalam semua hal, mendirikan shalat, berinfaq di jalan Allah dan berlaku adil sesama manusia. Sedangkan ciri-ciri khusus dari jama’ah Islamiah ialah adanya syura dan selalu menentang kezaliman.
Penutup

Kekalahan, keterbelakangan, penindasan dan yang dialami ummat Islam sekarang ini disebabkan adanya perselisihan dan perpecahan yang menimpa ummat Islam dewasa ini. Perpecahan dan perselisihan ummat Islam sekarang ini persoalannya bukanlah terletak pada perlunya pembersihan jiwa dan hati, luwes dan sikap berhati-hati di dalam gerakan, tentang perlunya sikap berlindung, atau perlunya semangat jihad. Ia juga bukan karena perbedaan tentang perlunya penguasaan terhadap seluruh medan perjuangan, juga bukan karena perbedaan perlunya suasana terbuka yang menjamin keamanan da’wah Islamiah. Dan bukan pula karena perbedaan tentang persoalan-persoalan yang dapat memberikan pelayanan kepada orang Islam. Tetapi sumber segala perselisihan dan perpecahan di antara kita ialah karena adanya perbedaan pandangan terhadap persoalan-persoalan dalam Islam yang bersifat prinsipil (badihi). Sehingga banyak dari kalangan ummat Islam sendiri yang melupakan dan mengabaikan prinsip (pokok) dalam Islam.