BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Orientasi Seksual
Orientasi seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk
menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang
berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005).
Orientasi seksual adalah ketertarikan emosional, romantik,
seksual, atau rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain. Orientasi seksual
mudah dibedakan dari berbagai unsur seksualitas yang lain termasuk kebutuhan
biologis, identitas gender (kesadaran psikilogis sebagai lelaki atau perempuan)
dan peran-peran sosial berdasarkan gender (kepatuhan pada adat istiadat tentang
perilaku lelaki atau perempuan).
Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini tidak selalu berbicara
soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan
keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih
luas.
B.
Teori –
teori Keragaman Orientasi Seksual
Banyak teori tentang asal-usul orientasi seksual seseorang;
sebagian besar ilmuwan saat ini sepakat bahwa orientasi seksual disebabkan oleh
interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif dan faktor biologis.
Pada sebagian besar orang, orientasi seksual terbentuk pada masa kecil.
Akhir-akhir ini terdapat cukup banyak bukti yang mengatakan bahwa faktor
biologis, termasuk faktor genetis dan hormonal memainkan peran cukup besar
dalam seksualitas seseorang. Dapat disimpulkan: sangat penting untuk menyadari
bawa banyak faktor yang menentukan orientasi seksual seseorang, dan
faktor-faktor tersebut bisa berbeda untuk masing-masing orang.
Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari
tahu faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang
berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang
mencoba menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis
:
1.
TEORI
BIOLOGIS
Teori ini mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor
genetik atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan
penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya diidentifikasi
sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan prenatal dan postnatal
dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor genetik yang menyebabkan
homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua orang kembar sama-sama memiliki
orientasi seksual homoseksual lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan salah
satunya homoseksual sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan
bahwa kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic
(identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu
kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian
selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata tidak
menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan lagi (Masters,
1992).
Beberapa tipe penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli
untuk membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang
menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992).
Pertama, dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Dorner,
Money dan Ehrhardt, dan Htchison, mengungkapkan bahwa pemberian treatmen
hormonal pada saat prenatal dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual
pada beberapa spesies binatang (Masters, 1992).
Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kekurangan hormon seks pada saat
prenatal mungkin dapat diasosiasikan dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah
penelitian (Ehrhardt, Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan
dengan adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada
masa prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian.
Ketiga, perhatian yang sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah
hormon pada orang dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa
penelitian seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan
bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan
estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa kadar
testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada perempuan
heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal menunjukkan asumsi ini
(Masters, 1992).
Salah satu keterbatasan teori ini dicontohkan pada pemberian treatment
hormon seks pada homoseksual dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi
seksual mereka.
Penelitian terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi
seksual dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan
syaraf dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali
lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan
perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan:
Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan seseorang menjadi
homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan
ukurannya mengecil? Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf
berubah dalam merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada
faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu homoseksualitas
maupun perbedaan ukuran syaraf.
2.
TEORI PSIKOLOGIS
Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan
faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya
bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi biseksual
yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki pemikiran bahwa setiap
orang memiliki kecenderungan homoseksual yang bersifat laten, dan Freud
percaya, bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya saja continuing castration
anxiety pada laki-laki, perilaku homoseksual mungkin akan muncul pada usia
dewasa (Masters, 1992).
Bibier meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang
keluarga. Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki
memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau
pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek heteroseksual
(Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan triangular system,
yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal adalah anak yang kelebihan
intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan ayah yang ditolak (Allgeier, 1991).
Sementara Wolf menemukan bahwa diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan
perempuan heteroseksual, karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah
penolakan terhadap ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf
mempercayai bahwa homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan
kasih sayang yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang
mengarahkan anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain
(Masters, 1992).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen, Flake-Hobson, dan
Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang homoseksual laki-laki dan
perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3 responden menyatakan bahwa hubungan
mereka dengan ayah adalah sangat memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat
responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau
memuaskan. Sekitar 64% responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh
ibunya, namun hanya 36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin
merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak bisa
digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).
Sementara McGuire, Gagnon dan Simon, Masters dan Johnson, berpegang
pada teori psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena
yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan dengan reinforcement
atau punishment pada awal perilaku seksual (dan juga pikiran dan perasaan
yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol proses terbentuknya orientasi
seksual. Pandangan behavioral ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang
heteroseksual menjadi homoseksual pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang
mendapatkan pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian
dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat
mengarahkan seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach
terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi lesbian,
mendukung pendapat ini (Masters, 1992).
Penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan
homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual,
tidak dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori
belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat
kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis. Kesimpulan
lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan
homoseksualitas (Rice, 2002).
Tentu saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas
ini, teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji homoseksualitas
dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui jawaban mengapa
seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan jawaban, mengapa
seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode ilmiah, karena jika
menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang menjadi catatan penting adalah
bahwa American Psychiatric Assosiation telah menghapuskan
homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun 1974 dengan tidak
mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO pada tahun 1992. Demikian
juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan
psikiater dan psikolog di Indonesia.
C.
Tipe – tipe
Orientasi Seksual
Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
·
Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan
partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
·
Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner
seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
·
Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara
seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa ahli tentang
macam – macam orientasi seksual :
1. Heteroseksual
Heteroseksualitas yaitu
ketertarikan satu individu terhadap individu lain dengan jenis
kelamin berbeda, seperti antara pria dan wanita. Ini adalah orientasi
seksual yang banyak terdapat di masyarakat dan dianggap normal dibandingkan
dengan orientasi seksual yang lain. Secara biologi, heteroseksualitas menjamin terjadinya
pelestarian suatu spesies dengan memunculkan generasi berikutnya.
2. Homoseksual
Homoseksual dapat didefinisikan sebagai suatu keinginan membina hubungan
romantis atau hasrat seksual dengan sesama jenis, jika sesama pria dinamakan gay
sedangkan sesama wanita sebut saja lesbian.
Sebenarnya pengertian homoseksual itu meliputi 3 dimensi yaitu orientasi
seksualnya yang ke sesama jenis, perilaku seksual dan juga tentang identitas
seksualitas diri. Jadi masalah homoseksual bukan semata perkara hubungan seksual
dengan sesama jenis semata.
Hal inilah yang seringkali membuat kita merasa najis dengan kaum
homoseksual, karena berpikiran bahwa di dalam otak mereka hanya berisikan
semata nafsu birahi dengan sesama jenis saja, padahal homoseksualitas itu
mencangkup identitas diri sekaligus perilaku mereka juga.
Itu semua bukan dapatan semata dari faktor lingkungan, melainkan faktor
genetik-lah yang membuat perkara ini menjadi sangat sulit.
Memang ada jenis homoseksual yang terjadi karena dipicu faktor lingkungan
semata, misalnya suasana dalam penjara yang merupakan populasi homogen serta di
biara seperti skandal sodomi dalam gereja di USA. Homoseksual semacam ini
sesungguhnya jauh lebih muda ditangani karena hal tersebut tercangkup dalam
segi perilaku semata, sementara segi identitas diri relatif masih normal
(homoseksual situasional).
Dalam ilmu psikiatri, homoseksual yang dianggap sebagai suatu bentuk
gangguan jiwa hanyalah homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini
bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak
dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut.
Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik
internal maupun eksternal dirinya. Homoseksual distonik memberikan suatu distress
(ketegangan psikis) dan disability (hendaya, gangguan produktivitas
sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa.
Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya
seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan
dendam, aktivitas kuliah terbengkalai dan sebagainya. Homoseksual jenis inilah
yang dicap sakit mentalnya dan memang harus diterapi. Di negara dengan budaya
dan agama yang kuat seperti di negara kita, celakanya homoseksual jenis inilah
yang mendominasi.
Sebab terjadinya
homoseksual
Mengacu pada teori penyebab homoseksual, dr. Wimpie Pangkahila
menyebutkan ada empat kemungkinan penyebab homoseksual.
1)
Faktor biologis, yakni ada kelainan di otak atau
genetik.
2)
Faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan
psikoseksual pada masa anak-anak.
3)
Faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang
memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan tertentu yang tidak benar.
4)
Faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang
memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat.
Sementara, menurut Budi, aktivis Gaya Nusantara dalam sebuah tulisan di
GN Online, ada dua hal yang menyebabkan orang menjadi gay yaitu :
1)
Faktor bawaan atau gen, yaitu adanya ketidakseimbangan
jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Jumlah hormon wanita cenderung
lebih besar daripada laki-laki. Hal ini dapat berpengaruh pada sifat dan
perilaku si laki-laki tersebut. Jati diri kewanitaan biasanya lebih kuat,
sehingga mereka cenderung berperilaku feminin dan selalu tertarik terhadap aktivitas
yang dilakukan wanita.
Laki-laki
yang menjadi gay karena faktor tersebut biasanya tidak bisa kembali menjadi
laki-laki dalam arti sebenarnya. Tapi, sifat gay tersebut bisa berkurang
frekuensinya. Tentunya, diperlukan usaha yang keras. Misalnya, tidak bergaul
lagi dengan kaum gay, punya keyakinan yang kuat, dan harus tahan segala godaan.
2)
Faktor lingkungan, yaitu komunitasnya lebih sering
bertemu dengan laki-laki dan amat jarang bertemu dengan wanita. Selain itu, ada
juga dari mereka yang terlibat dalam kehidupan gay semata-mata karena gaya
hidup dan materi. Biasanya mereka berawal dari coba-coba untuk berhubungan
dengan sesama jenis dengan imbalan uang. Jenis gay ini bisa hilang bila mereka
telah menemukan pasangan hidup wanita. Atau, mereka keluar akibat terkena
penyakit kelamin. Dan juga, gay tersebut dapat kembali sebagai lelaki
sepenuhnya bila punya komitmen kuat untuk menjauhi kehidupan gay.
Kaum homoseksual di tanah air sulit untuk menerima kenyataan dirinya
sebagai kaum abnormal seperti demikian, maka mereka sering menyembunyikan
orientasi yang dicap salah dalam masyarakat tersebut. Represi semacam demikian
akan berakibat gejolak negatif dalam dirinya sehingga tampil ke permukaan
sebagai stress,depresi dan gangguan dalam relasi sosial. Mereka sering gagal
dalam menemukan identitas dirinya ditengah ancaman cambuk agama dan budaya yang
sedemikian kuat.
Kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya
sebagai suatu bentuk hal yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out
atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal
dalam dirinya lepas. Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak
dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak mengalami distress
amupun disability dalam kehidupan mereka. Bahkan mereka yang sukses dengan
coming out seperti demikian seringkali lebih produktif dan sukses dalam profesi
mereka seperti misalnya perancang baju, penata rias dan rambut,dll.
Menjadi seorang dengan orientasi seksual ke sesama jenis sesungguhnya
bukan semata pilihan pribadi homoseksual, melainkan itu merupakan kesalahan
genetik. Kecenderungan itu sesungguhnya sudah ada sejak lahir namun baru naik
ke permukaan setelah seorang individu masuk ke dalam fase sosial dalam tahap
perkembangannya.
Bahkan seorang Sigmund Freud berani mengatakan bahwa pada setiap diri
kita sebenarnya ada bakat untuk homoseksual, dan proses interaksi sosial dalam
perkembangan selanjutnyalah yang menyebabkan bakat itu dapat muncul atau
tertahankan.
Permasalahan jiwa pada pribadi homoseksual sebenarnya jauh lebih banyak
terkait faktor eksternal dirinya atau berupa tekanan dari masyarakat. Mereka
yang tidak berani coming out ke masyarakat akan dihantui konflik identitas diri
seumur hidupnya sedangakn mereka yang memberanikan coming out tetap menghadapi
resiko dicibir atau malah dikucilkan masyarakat.Jadi sebenarnya homoseksual itu
lebih berupa ‘penyakit masyarakat’ ketimbang penyakit jiwa karena memang yang
menimbulkan penyakit itu adalah perlakuan dari masyarakat sendiri.
Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di
sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka
termasuk yang memilih untuk non coming out karena takut akan ancaman
sosial-agama dari masyarakat.
Sebagai catatan dari suatu survey dari Yayasan Priangan beberapa tahun
yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah
terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di
tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia.
Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Bagaimanapun kita sebagai pribadi yang terpelajar hendaknya mau mengerti
latar belakang kaum homoseksual, tidak semata merasa jijik atau malah menolak
mereka. Tentunya Anda tidak bisa mengucilkan teman Anda yang berambut ikal
karena memang gen nya membawa sifat ikal seperti itu bukan?
Begitu pula homoseksual, bukan kemauan mereka untuk menjadi homoseksual,
namun bedanya gen orientasi seksual semacam itu mencangkup pula segi perilaku
sosial bukan semata penampilan fisik seperti halnya rambut ikal. Dukungan
sosial justru sangat dibutuhkan oleh kaum homoseksual, dengan demikian mereka
dapat menemukan dan mengaktualisasikan identitas dirinya serta terbebas dari distress,
dengan demikian mereka dapat tetap produktif dalam masyarakat.
Homoseksual harus dibedakan dengan gangguan transeksual (banci).
Transeksual masih termasuk dalam gangguan jiwa jenis preferensi seksual.
Bedanya yang mudah diantara keduanya adalah bahwa kaum homoseksual tidak pernah
ingin mengganti jenis kelaminnya (misal dengan operasi plastik), tidak pernah
berhasrat mengenakan pakaian lawan jenis (melainkan kebanyakan gay
berpenampilan macho dan necis).
Selain itu kaum transeksual terutama memiliki dorongan untuk menolak
jenis kelaminnya, dan mengingini jenis kelamin lawan jenisnya. Jadi pengertian
transeksual lebih ke arah penolakan akan identitas dirinya sebagai seorang pria
atau wanita, bukan menekankan kepada orientasi seksual (keinginan dengan siapa
berhubungan seksual / membina relasi romantis).
3.
Biseksual
Biseksualitas adalah orientasi
seks yang mempunyai ciri-ciri
berupa ketertarikan estetis, cinta
romantis dan hasrat
seksual kepada pria dan wanita. Biseksualitas umumnya dikontraskan
dengan homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas.
Tim psikologi dari Northwetern
University, AS yang dipimpin oleh Michael Bailey melakukan penelitian terhadap
laki-laki dan perempuan dengan mempertontonkan kepada mereka blue film
yang berisi adegan-adegan seks antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan
dengan perempuan, serta laki-laki dengan perempuan.
Ternyata, respon mereka berbeda-beda dalam
menanggapi tontonan adegan sesks dalam blue film tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perempupan selalu bergairah menonton adegan sesk
antara laki-laki dengan laki-laki (homoseks), perempuan dengan perempuan
(lesbian), serta laki-laki dengan perempuan (normal). Sebaliknya, laki-laki
lebih bergairah menonton adegan seks antara perempuan dengan perempuan
(lesbian) dan antara laki-laki dengan perempuan (normal).
Kesimpulan penelitian Bailey dkk. tersebut
adalah perempuan cenderung memiliki orientasi biseksual dibanding laki-laki.
Pengertian cenderung memiliki orientasi biseksual di sini lebih menunjuk kepada
timbulnya gairah seksual peremuan pada saat menonton adegan seks dalam blue
film, sedangkan dalam kehidupan seks mereka sehari-hari bisa jadi perilaku
seksual mreka normal. Namun, banyak juga yang melampiaskan gairahnya dengan
melakukan hubungan seksual dengan kedua jenis kelamin.
Factor penyebab seseorang menjadi biseksual
Pada fase falik, secara seksual, anak akan menyadari bahwa organ
seksual merupakan sumber menikmatan yang
dapat ia hayati. Oedipus complex pada
anak laki – laki dan Electra complex
pada anak perempuan merupakan drama relasi segitiga antara ayah dan ibu, yang
menentukan identitas seksual anak di kemudian hari. Dalam hal ini, anak harus
menerima kenyataan akan ketidakmampuan untuk memiliki ayah atau ibu, baik
secara emosional maupun seksual. Apabila pada saat tersebut lingkungan keluarga
tidak bersikap hangat, maka anak akan berpeluang untuk mengambil alih ciri
hakikat identitas gender (gender
identity) dari ayah ataupun ibu, yaitu anak laki – laki akan mengambil alih
ciri hakikat kewanitaan dari ibu, sedangkan anak perempuan akan mengambil alih
ciri hakikat kelaki – lakian dari ayah. Anak laki – laki akan mengembangkan
kepribadian homoseksual, sedangkan anak perempuan akan mengembangkan
kepribadian lesbian (Sadarjoen, 2005).
Sementara Kinsey (dalam Nugraha, 2002) mengemukakan ada tiga hal yang
dapat mendorong seseorang menjadi biseksual, yaitu :
1)
Pengalaman seksual yang didapatkan dari suatu hubungan
persahabatan antara laki – laki dan perempuan yang sangat dekat. Misalnya pada
persahabatan antara dua laki – laki yang salah satunya mempunyai kecenderungan
perilaku homoseksual, meskipun nantinya ada kemungkinan kedua laki – laki
tersebut mencari pasangan seorang perempuan.
2)
Kelompok – kelompok yang membentuk pergaulan biseksual.
Kelompok tersebut berusaha memperkenalkan filosofi tentang biseksual.
3)
Lingkungan, Lingkungan yang dimaksud biasanya
lebih bersifat memaksa, seperti di sebuah penjara, para narapidana yang
seluruhnya laki – laki normal, tetapi karena tinggal dalam jangka waktu yang
lama dalam penjara dimana hanya terdapat laki – laki saja, maka penyalurannya
hanya kepada sesama laki – laki. Hal seperti ini juga dapat terjadi pada
tentara (prajurit) yang berperang di hutan – hutan, dimana sulit bertemu dengan
perempuan.
Faktor Pendukung
Kecenderungan berorientasi biseksual akan
mewujud menjadi tindakan atau perilaku biseksual didorong oleh beberapa keadaan
yaitu :
a.
Coba – coba
Perilaku coba-coba untuk memperoleh pengalaman
seksual baru sering dilakukan antarsahabat. Laki-laki yang telah beristri
mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat laki-lakinya. Demikian juga
perempuan yang telah bersuami, mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat
perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari hasil coba-coba
antara laki-laki homoseksual dengan sahabt perempuannya atau antara perempuan
lesbian dengan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena orienasi seksual itu memang
kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat hanya para perilaku yagn tampak di
permukaan (overt behaviour).
b.
Seks bebas (free
sex)
Para penganut seks bebas seringkali mengadakan
pesta seks yang dihadiri banyak orang dengan berbagai ragam orientasi seksual.
Dalam keadaan semacam ini sangat terbuka kemungkinan coba-coba untuk melakukan
hubungan biseksual. Bila dalam melakukan hubungan itu mengalami kenikmatan
sperti diharapkan, perilaku tersebut cenderung diulang-ulan, sehingga ia dapat
berkembagn menjadi orang yang memiliki perilaku biseksual.
c.
Kebutuhan emosional
yang tak terpenuhi
Hasil penelitian tentang seksualitas ganda
menunjukkan bahwa para wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional
yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki; sementara beberapa kebutuhan eosional
lainnya menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan. Untuk memenuhi seluruh
ke butuhan emosional tersebut mereka memiliki peran seksualitas ganda.
d.
Kebutuhan akan
variasi dan kreativitas
Hasil penelitan terhadap pria biseksual
menunjukkan bahwa kebanyakan mereka menjadi biseksual karena ingin memenuhi
kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk mendapatkan kepuasan dan
kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.
Perilaku biseksual termasuk
penyimpangan kegiatan seksual yang tidak sesuai dengan norma agama maupun
masyarakat. Oleh karena itu, kaum
biseksual menghadapi masalah yang sama dengan para gay dan lesbian. Mereka
pada umumnya lebih tertekan daripada kaum gay atau lesbian karena
identitas seksual mereka dianggap tidak jelas. Sana-sini mau atau AC/CD adalah cemoohan
buat kaum biseksual.
Karena besarnya tekanan tersebut, kaum
biseksual pada umumnya lebih mudah mengalami gangguan mental dibandingkan
dengan mereka yang heteroseksual (normal) maupun homoseksual/ lesbian. Sebuah
penelitian di Australia yang dimuat dalam British Journal of Psychiatry
menemukan bahwa orang-orang biseksual mempunyai perasaan yang sangat dalam
terhadap kegelisahan, depresi, dan berbagai pikiran negatif lainnya.